Tulisan Kompasianer Dewi Sumardi mengenai penglaris dagangan (baca di sini) mengingatkanku pada dinamika "abu-abu" dunia kuliner yang sempat aku amati.
Sebagai orang kantoran, aku jarang makan siang di rumah. Jadilah aku pelanggan beberapa warung yang ada di sekitar kantor. Sebenarnya ditilik dari segi rasa, tidak ada warung yang menonjol, alias standar saja. Tapi karena warung yang tersedia hanya itu, dan kebijakan kantor bahwa tidak ada rehat makan siang (sehingga aku tidak bisa kabur cari makan di luar), aku jadi mengandalkan warung-warung itu untuk mengisi perut.
Ada beberapa warung yang sudah puluhan tahun bercokol di kantor. Warung A bahkan sudah diteruskan anaknya. Warung B merangkap tempat tinggal juru kunci Balaikota. Warung C berawal dari usaha rombong bakso yang karena kebaikan hati para pejabat, akhirnya dibuatkan warung.
Di luar ketiga warung itu sebenarnya banyak warung lain yang coba-coba mengadu nasib di sekitar kantorku. Tapi tidak ada yang bertahan lama. Warung C sempat punya pesaing sesama penjual bakso, tapi si pesaing ini lama-lama tutup juga karena tidak tahan intimidasi dari Warung C. Si pesaing ini tidak boleh membawa dagangannya lewat di depan Warung C. Untuk bisa berjualan di wilayah Balaikota, si pesaing harus ambil jalan memutar sehingga menempuh jarak yang cukup jauh. Padahal si pesaing ini penjual bakso pikul. Tak terbayangkan berat dan payahnya si penjual memikul dagangannya hanya untuk mengais rupiah.
Lama-lama si pesaing menyerah juga. Ia tak lagi berdagang di Balaikota. Aku dan teman-teman kantor menyayangkan karena sebenarnya rasa baksonya lebih enak daripada yang dijual Warung C.
Lalu datanglah Mbak X yang berjualan nasi. Sebenarnya wilayah jualannya di luar pagar Balaikota. Cukup enak juga makanannya, apalagi rujak cingurnya. Tapi entah kenapa warungnya sepi-sepi saja. Padahal letaknya cukup strategis karena dekat situ ada kantor pemerintah, beberapa bank, dan beberapa sekolah. Secara logis, kecil kemungkinan warung ini dijauhi pelanggan karena selain Mbak X ini ramah-tamah, masakannya enak, dan letak warungnya strategis.
Ketika Mbak X akhirnya menyerah, aku dan teman-temanku sempat menemani dia memberesi barang-barangnya. Mbak X bercerita, ia sebenarnya penasaran juga kenapa warungnya tidak laku. Dari pengalamannya berjualan makanan, baru kali ini warungnya tidak dijenguk pelanggan. Akhirnya ia mengunjungi "orang pintar" untuk konsultasi. Menurut si "orang pintar", warung Mbak X memang dipasangi "sesuatu" sehingga jualannya tidak laku.
Karena tidak percaya, Mbak X memboyong si "orang pintar" ini ke warungnya. Dengan kemampuannya, si "orang pintar" ini bisa mengeluarkan sebatang paku yang menancap di etalase jualan Mbak X. Ajaib! Padahal permukaan etalase itu licin, tidak tampak permukaan tidak rata seperti bila ada paku menancap. Kata si "orang pintar", paku ini sengaja dipasang oleh pesaing Mbak X supaya dagangannya tidak laku.
Walaupun tidak percaya pada si "orang pintar", Mbak X tetap menutup usahanya. Kapok, rupanya. Dan kami pun terpaksa kembali berlangganan pada warung-warung A, B, dan C itu, karena tidak ada pilihan lain.
Hari Kamis yang lalu, sehabis upacara peringatan Hari Pendidikan Nasional, kami sekantor mendapat instruksi untuk menghadiri pembukaan Warung 123, warung baru di lingkungan Balaikota. Kami sulit berkelit karena pemilik warung ini adalah Pak YZ, pensiunan pejabat dan pernah menjadi bos kami.
Hidangannya tidak istimewa juga. Menunya standar: nasi soto (daging dan ayam), nasi sop, nasi campur, dan nasi lodeh. Mungkin karena masih baru buka, sehingga pilihan menunya masih sedikit.