Lihat ke Halaman Asli

Susi Diah Hardaniati

IBU DARI SEORANG ANAK LELAKI YANG MEMBANGGAKAN

Racikan Kisah dalam Replika Violin Stradivari, Sebuah Resensi

Diperbarui: 18 Juni 2015   00:52

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

1410509802776840998

Judul buku : Replika Violin Stradivari, Sebuah Antologi Cerpen
Jumlah halaman : 211 + vi
Penulis : Lizz
Editor : Lizz
Desain sampul : Bhre Wisanggeni
Penerbit : self publishing melalui Herya Media
ISBN : 978-602-70316-4-7

Sejak dulu saya berpendapat, menikmati buku baru serupa dengan menikmati hasil masakan seorang koki. Semua soal rasa, racikan yang pas, dan gairah harap-harap cemas untuk menikmati hidangan yang mungkin belum pernah dinikmati sebelumnya.

Pun begitu pula membaca buku ini. Genre "cinta-cintaan" sebenarnya tidak terlalu saya akrabi karena saya sering melabeli  fiksi cinta sebagai fiksi yang too good to be true. Terlalu mengawang sehingga sulit dibayangkan bisa terjadi di dunia nyata. Bila dipadankan dengan makanan, fiksi dengan tema cinta serupa dengan gourmet food yang tak terjangkau oleh saya yang kelas "warteg" ini. Rasa yang terlalu canggih bagi lidah saya yang level orek tempe dan sambal lalapan ini.

Anggapan saya rontok berantakan setelah membaca buku ini. Benar isinya tentang cinta, namun cinta dalam pengertian seluas-luasnya. Tak semata tentang cinta yang berakhir bahagia, ada juga cinta yang membawa tawa, pengorbanan, kejutan, kepedihan, bahkan cinta dengan bumbu "ngeri-ngeri sedap".

Aneka ragam cinta yang ditawarkannya diikatnya dalam kecintaan sang "koki" pada seni, terutama seni musik dan seni tari. Kedua cabang kesenian itu bukan sekedar tempelan dalam kisah-kisah yang diramunya, namun memberi aroma yang tidak hanya memperkaya "rasa" cerita, namun juga menambah perbendaharaan pengetahuan penikmatnya.

Siapa sangka Tari Karonsih ternyata begitu intimnya?

Bahkan saya pun jadi menyesal tidak belajar menarikan tarian ini!

Buku "Replika Violin Stradivari" ini serupa meja prasmanan yang menampilkan kisah-kisah hasil racikan "koki" Lizz. Meja prasmanan dengan pilihan yang beragam namun sayangnya tidak semua kisah memiliki "cita rasa" yang jempolan. Beberapa kisah (seperti Karonsih, kesukaan saya) layak mendapat acungan jempol, sementara beberapa yang lain terasa datar saja. Beberapa kisah terasa berkesan karena adukan emosinya "dapet", sementara yang lain "kok segini aja".

Namun tetap saja kisah-kisah dengan bumbu yang "kurang nendang" itu tidak sampai mencemari kualitas suguhan "koki" Lizz secara keseluruhan. Malah membuat penikmatnya kian penasaran dengan sajian-sajian berikutnya.

Selanjutnya, kiranya lain kali "koki" Lizz bisa memilih lagi kisah-kisah yang hendak disuguhkan. Tentu, sebuah buku bukan hanya asal penuh asal tebal, sebagaimana meja prasmanan tidak hanya sekedar asal banyak pilihan.

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline