Lihat ke Halaman Asli

Ardy Mahdi Nugroho

Social Media Manager Sobat Kenyal | Awardee Beasiswa Pendidikan Indonesia

Petani, Malthus, dan Masa Depan Pertanian Indonesia

Diperbarui: 15 April 2021   22:56

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Ilustrasi Hasil Hutan. Foto oleh Ivars dari Pexels.

Pertumbuhan penduduk mengikuti deret ukur, sedangkan pertumbuhan makanan mengikuti deret hitung~ Robert Malthus.

Sekilas kutipan di atas mungkin tidak bisa dipahami dalam sekali baca saja. Maklum, Robert Malthus adalah seorang ahli ekonomi dan demografi yang merupakan pencetus pertama teori kependudukan pada tahun 1800-an sehingga teorinya sudah ketinggalan zaman meskipun sangat revolusioner di masanya. 

Maksud dari kutipan tersebut adalah Malthus jauh-jauh hari sudah memperkirakan bahwa pertumbuhan makanan tidak akan bisa mengimbangi pertumbuhan penduduk. 

Singkatnya, pertumbuhan penduduk jika dianalogikan maka akan berbentuk layaknya deret geometri (1,2,4,8,16,32,dst.) sedangkan pertumbuhan makanan dianalogikan berbentuk seperti deret aritmatika (1,2,3,4,5,6,dst.). Dengan analogi semacam ini, tidaklah aneh bila Malthus pada abad ke-18 sudah pesimis populasi manusia akan bisa berkembang lebih jauh lagi karena keterbatasan makanan.

Kelak, teori Malthus tidak hanya menyinggung mengenai makanan saja melainkan juga menyinggung aspek yang lebih luas yakni segala bentuk sumber daya yang dihasilkan oleh bidang pertanian termasuk juga kehutanan. 

Malthus tidak sepenuhnya salah. Memang benar bahwa pertumbuhan penduduk jauh lebih cepat ketimbang pertumbuhan sumber daya pertanian. Tetapi pada waktu itu Malthus berada di zaman di mana mesin uap belum lama ditemukan. Revolusi industri baru saja dimulai dan belum begitu mempengaruhi bidang pertanian. 

Jika Malthus hidup 50-100 tahun lebih lambat, maka niscaya teori tersebut tidak akan pernah terlahir. Penyebabnya karena pertanian sudah mendapatkan input teknologi. 

Hal yang sama yang masih kita lakukan hingga saat ini seperti pada Kegiatan penelitian Enhancing Community Based Commercial Forestry (CBCF) in Indonesia (2016 - 2021) dan Kegiatan kerja sama Badan Litbang dan Inovasi, Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan dengan Australian Center for International Agricultural Research yang keduanya memiliki tujuan dasar yang sama yakni meningkatkan produktivitas pertanian khususnya sektor kehutanan dalam rangka mengimbangi pertumbuhan penduduk.

Teknologi dan inovasi pun terus berkembang semenjak saat itu. Input teknologi dan inovasi tidak hanya sebatas pada produk pertanian tetapi pada manajemen serta kebijakan terkait regulasi pertanian seperti halnya industri kayu rakyat. 

Meskipun pemerintah sudah mencanangkan berbagai program dan kebijakan yang bertujuan untuk mempermudah dan meningkatkan manfaat ekonomi untuk masyarakat, program-program tersebut tentu tidak akan berjalan dengan baik apabila aspek si pelaku yakni manusianya sendiri masih kurang optimal, baik dari segi kualitas maupun kuantitas.

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline