Kemarin sore, kesedihan datang menghampiri saya. Bagaimana tidak, saat pulang ke rumah, saya mendapat sebuah kabar yang kurang mengenakan tentang keponakan saya. Keponakan saya adalah seorang anak kecil berumur 7 tahun dan ia berada di bangku kelas 2 Sekolah Dasar. Anak seumuran dia adalah anak-anak yang aktif, yang sangat suka bermain.
Mereka masih sangat polos dan belum tahu apa-apa. Mereka hanya berpikir tentang bermain, dan hanya bermain sampai kelelahan. Masalah keponakan saya adalah cerita tentang permainan mereka tadi. Ada anak tetangga yang menjauhi dan tidak mau bermain dengannya lagi. Tetangga kami yang satu ini memang jarang bergaul. Mereka memagari rumah mereka dengan pagar yang tinggi. Mereka seakan hidup tertutup dan menolak bertemu dengan dunia. Anak-anaknya pun jarang untuk keluar bermain dengan teman sebayanya di kompleks perumahan. Tadi, cerita keponakan saya, anak tetangga itu berhasil keluar. Karena anak-anak sangat polos, mereka pun saling mengajak untuk bermain.
Keponakan saya, karena paling aktif, langsung mengajak anak tetangga ini untuk bermain. Apa yang dikatakannya? "Maaf ya, Mama kami bilang, kami tidak boleh bergaul dengan orang Kristen. Saya tidak mau bermain dengan kamu lagi". Demikian kata anak tetangga kami itu untuk keponakan saya. Keponakan saya sedih, ditolak ajakannya. Ia kemudian pulang ke rumah, dan hanya diam sampai cerita ini saya ketahui.
Hati saya tertampar mendengar cerita anak 7 tahun yang sudah merasa sedih dijauhi karena perbedaan keyakinan. Anak-anak yang polos sudah dibentuk untuk merasa diri berbeda. Mengerikan membayangkan bagaimana mereka akan tumbuh dengan pola pikir yang mengajarkan kalau perbedaan itu menyakitkan. Karena berbeda maka ruang gerak akan dibatasi, pergaulan akan diputus dan hak untuk bermain hanya boleh dilakukan dengan orang yang "sama". Bagaimana mereka akan besar dengan paradigma bahwa yang berbeda darinya itu adalah momok dan harus dijauhi?
Sontak saya lancang berpikir, bagaimana wajah Indonesia 5-10 tahun ke depan? Apakah Indonesia masih akan tetap berdiri sebagai negara kesatuan? Atau Indonesia hanyalah sejarah karena sudah ada banyak pecahan negara kecil seperti yang terjadi pada Uni Soviet? Pertanyaan ini bukan khayalan, jika cerita seperti yang dialami keponakana saya juga terjadi di tempat anda, atau di banyak tempat di setiap sudut negara ini.
Sejak kecil anak-anak sudah diajarkan melihat perbedaan sebagai sesuatu yang buruk. Anak tidak dibekali dengan perasaan ke-kita-an sebagai anak Indoneisa. Ia lebih memandang kelompok dan keseragaman, dibanding merangkul teman yang berbeda darinya. Jika 10 tahun lagi ia tumbuh dengan pikiran yang salah, ia bisa saja berontak dan memaksakan kesamaan untuk yang berbeda.
Mari merayakan perbedaan!
Untuk bangsa sebesar Indonesia dengan segala kompleksitas perbedaan yang terkandung di dalamnya, setelah melewati angka 72 tahun, semangat persatuan seharusnya sudah teruji. Sebenarnya alat perekat yang paling nyata selain Bahasa Indonesia adalah semboyan negara ini. Bhinneka Tunggal Ika adalah semboyan negara Indonesia yang hebat dan juga diakui dunia. Berbeda-beda tetapi tetap satu. Bagaimana hal ini diterapkan untuk kesejahteraan bersama adalah sebuah keharusan yang tidak boleh diabaikan. Tidak cukup sampai di situ, penegakan hukum untuk mewujudkannya pun mesti kuat sehingga orang tidak gampang untuk menganggap remeh yang berbeda dengan dirinya.
Tren negatif yang muncul, eksklusifisme, dan apalagi radikalisme harus segera diberantas sebelum Indonesia hanya menjadi dongeng untuk generasi penerus. Namun jika kasus yang terjadi seperti cerita keponakan saya, kesadaran tiap warga adalah sebuah hal krusial yang mestinya benar-benar ditegakkan. Bagaimana tidak, jika setiap keluarga sebagai unit terkecil negara mengajarkan sesuatu yang salah, agak sulit bagi aparat ataupun masyarakat sosial untuk mengetahuinya. Karena itu tiap kepala keluarga harus tahu dan bertanggung jawab terhadap kelangsungan negara Indonesia tercinta ini.
Setiap Warga Negara Indonesia seharusnya sadar akan kebesaran negeri ini. Kebanggaan akan negara yang sudah memberikan perlindungan dan menjamin kelangsungan hidup harus benar-benar diakui. Banyak orang sepertinya masih acuh dengan kehadiran negara untuk dirinya. Orang menjadi lupa bersyukur dan abai dengan semangat persatuan.
Tentunya kita tidak berharap sebuah kekacauan datang untuk menjadikan kita sadar tentang ke-Indonesia-an kita. Semangat karena merasa satu dalam sebuah wadah negara adalah yang paling penting untuk diusung. Peran negara untuk mewujudkan kesadaran untuk merayakan perbedaan juga mesti lebih diperhatiakn dalam semua aspek. Sehingga jika di keluarga ada yang nakal untuk mengajarkan eksklusifitas, di sekolah ada pengajaran yang bisa menangkal hal tersebut. Kebanggan untuk nasionalisme harus ditanam dalam setiap aspek kehidupan. Agar orang lupa untuk merasa berbeda dan selalu bahagia menjadi Indonesia.