"Jika bangsa Indonesia ingin Pancasila yang saya usulkan mejadi suatu realitet, yakni jika kita ingin hidup menjadi suatu bangsa, suatu nationaliteit yang penuh dengan peri kemanusiaan, ingin hidup di atas dasar permusyawaratan, ingin hidup sempurna dengan sociale rechtvardigheit, ingin hidup sejahtera dan aman dengan ketuhanan yang luas dan sempurna, janganlah lupa akan syarat untuk menyelenggarakannya, ialah perjuangan, perjuangan dan sekali lagi perjuangan." Pidato Soekarno pada hari lahir Pancasila 1 Juni 1945.
Mengunjungi Rumah Bung
Ruang tamu itu tertata rapi. Beberapa benda peninggalan yang tampak di etalase kaca menggambarkan adanya perawatan cermat dari penjaganya. Rumput di halaman tumbuh menghijau. Bunga kertas tampak terawat. Jalan masuk menuju rumah bersih dari dedaunan. Di sudut rumah, berdiri megah patung Soekarno setinggi 2 meter lebih dengan warna cokelat.
Benda peninggalan Soekarno itu antara lain; naskah pementasan teater yang dibawakan di Ende, surat perjanjian cerai dengan istrinya, tongkat kayu yang menjadi andalan Bung Karno dalam membawakan pidato di mana-mana, sampai dengan tempat tidurnya yang masih terawat hingga kini. Rumah itu terdiri dari satu kamar tidur dan satu ruang tamu. Di halaman belakang terdapat sebuah sumur, halaman yang cukup asri dan kamar untuk asisten rumah tangga dan dapur.
Aura kehormatan terpancar dari rumah bekas tahanan Bung Karno yang terletak di Jalan Perwira, kelurahan Kota Raja, Ende Nusa Tenggara Timur. Soekarno diasingkan ke sini sejak 14 Januari 1934. Ia diasingkan selama 4 tahun di Ende dari tahun 1934-1938. Rumah itu milik Abdulah Ambarawu. Setelah Indonesia merdeka Soekarno mengunjungi Ende pada tahun 1951 dan menjadikan tempat tinggalnya itu sebagai museum.
Rumah itu bukan sekadar rumah tahanan. Ia adalah rumah bangunan ideologi, yang memberikan sejuta pesan kuat tentang adanya sebuah bangsa yang dibangun dari berbagai ideologi hingga menyatu menjadi sebuah bangsa yang berdaulat, adil dan makmur. Bangunan rumah yang sederhana, menekankan bahwa pada massa lalu ada sekian perjuangan yang telah dilewati untuk mencapai perjumpaan dalam bangunan suatu bangsa.
Menuju Kemerdekaan
Dalam perjuangan menuju kemerdekaan yang dirindukan oleh segenap rakyat, para pendiri bangsa mesti rela untuk dibuang ke berbagai tempat terpencil di Indonesia untuk menjauhkannya dari cita-cita kemerdekaan. Mereka telah berupaya bertaruh nyawa, mengorbankan sebagian besar hidupnya untuk merumuskan kemerdekaan. Tekun belajar, berdiskusi, membangun jejaring serta bertarung gagasan dengan kolonial yang berupaya untuk merubuhkan segala perjuangan menuju kemerdekaan Indonesia.
Perjuangan mencapai suatu bangsa adalah pengorbanan hidup. Ia dibangun dengan darah dan air mata sekian juta anak manusia hingga menciptakan kemerdekaan pada masa kini. Menurut Ernest Renan bangsa tercipta karena kehendak untuk hidup bersama (le desir d'etre esemble). Demi mencapai kemerdekaan yang direbut dengan perjuangan senjata dan diplomasi menuntut tekad sekeras baja. Niat yang tak lekang oleh waktu, sembari terus berusaha mewujudkan adanya keadilan bagi bangsa dan negara, di tengah gempuran kolonial yang akan datang memangsa kapan saja.
Menggagas berdirinya bangsa Indonesia yang multikultural mensyaratkan keterlibatan dalam situasi riil agar mampu menangkap inti dari keindonesiaan yang nampak dalam tradisi, bahasa dan kebiasaan hidup. Kemampuan untuk mengabstraksikan padangan hidup manusia-manusia Indonesia menjadi suatu bangsa bertolak dari kondisi material yang sama-sama menghendaki suatu kemerdekaan. Perasaan bersama inilah, yang berhasil diwujudkan oleh para pendiri bangsa sehingga kita dapat sampai pada gerbang kemerdekaan.
Membaca Indonesia