Lihat ke Halaman Asli

Ardy Milik

akrabi ruang dan waktu

Paradoks Manusia Pandemi

Diperbarui: 28 Maret 2021   09:56

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Persawahan Kobarosa-Nagekeo. Credit Photo: Dokumen Pribadi

Usia virus corona telah mencapai satu tahun sejak Maret 2020 diumumkan sebagai  virus yang berbahaya bagi umat manusia. Mode penularannya sangat cepat, melalui cairan yang dikeluarkan oleh tubuh manusia. Interaksi yang dekat atau saling berkumpul satu dengan yang lain memungkinkan virus ini menular dengan begitu cepat tanpa terkendali. Praktis, kebiasaan berkumpul untuk membahas, merayakan dan merencanakan sesuatu menjadi terhenti dengan adanya corona virus-19.

Virus corona telah merubah kebiasaan manusia yang sejak turun-temurun mengikat kekerabatan dengan saling bertatap wajah bertukar pikiran dan cerita. Kebiasaan baik ini hampir hilang dengan adanya virus yang mematikan ini. Ritus-ritus yang jadi habitus mulai dari bersekolah, beribadah, berpesta atau merayakan duka kini, hampir hilang akibat terpaan virus mematikan ini.

Semenjak kebiasaan manusia sebagai makhluk sosial  berubah. Pola interaksi yang kian jarang, manusia-manusia yang hidup di masa pandemi ini mulai beriktiar mencari jalan keluar; bagaimana terus mempertahankan relasi sosial di tengah pandemic? Bagaimana dapat bertahan hidup meski kematian seolah terus membayangi di beranda pintu rumah, sementara itu untuk makan dan minum pun mulai susah. Harga kebutuhan pokok makin menjulang, pendapatan pun naik turun.

Tidak mudah menjadi manusia yang hidup di masa pandemic. Tetap memelihara harapan sebagai makhluk yang mampu berpikir untuk mencari jalan keluar dalam situasi tersulit, membuktikan bahwasanya anugerah akal budi yang diberi khusus bagi ciptaan yang satu ini mampu memberikan nafas kehidupan bagi sekalian makhluk lainnya yang turut hidup bersama dengannya.

Situasi krusial ini menuntut manusia agar lebih bertenggang rasa. Menghormati yang lain yang hidup. Mengusahakan jalan keluar bagi yang masih bertahan dan menghargai jasa yang telah berkorban dengan memaknai hidup dengan lebih sungguh.

Manusia yang berusaha

Refleksi tentang manusia sebagai manusia telah berumur dua ribu tahun lamanya ketika para bijak bestari menitikberatkan pusat pemikiran bukan lagi pada kosmos, melainkan pada manusia. Sejak Aristoteles menyatakan bahwa manusia adalah binatang yang berakal budi (animal rationale)sejak itu refleksi mengenai tujuan hidup manusia di dunia mengemuka. Apakah tujuan hidup manusia adalah untuk mencapai kebahagiaan? Bagaimana mencapai kebahagiaan ketika di sekitarnya terjadi banyak penderitaan? Lalu, pertanyaan yang paling fundamental adalah, mengapa manusia harus berbahagia?

Berbagai pertanyaan ini, tidak dapat dijawab sekali duduk atau bahkan sekali bicara. Apalagi, di tengah masa pandemic. Sebagaimana terpampang dengan jelas, rasa frustasi dan kekesalan  memuncak ketika segala aktivitas dibatasi. Himbauan agar di rumah saja tidak selamanya dapat dipenuhi, bagi yang hidupnya bergantung pada interaksi dengan manusia lain.

Saya harus keluar rumah agar tetap hidup, memastikan dapur tetap ngepul. Karena tanpa keluar rumah seolah saya menggali lubang bagi saya dan keluarga saya sendiri. Demikian elegi, bagi para kelas pekerja yang menggantungkan hidupnya dari berdagang, bertani, kerja serabutan, pertukangan, jasa transportasi dan pemulung.

Hidup menjadi tidak mudah di situasi akut seperti ini. Tujuan hidup untuk mencapai kebahagiaan pun dipertanyakan lagi. Apakah memang tujuan tersebut relevan dengan situasi actual. Ataukah refleksi atasnya perlu diperbaharui lagi demi merumuskan kembali hidup yang benar-benar hidup bagi diri sendiri hingga dapat bermakna bagi manusia yang lainnya.

Paradoks Manusia Pandemi

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline