Hidup terkungkung di bawah derita. Aral panjang melintang membatasi langkah. Jalan tujuan pun kabur dibayangi kekuasaan. Hari ini makan tak pasti apalagi esok. Minuman pun walau comberan asal sanggup puaskan dahaga.
Harap adalah kekuatan ampuh tuk merangkai tapak menembusi rintangan.
Hanya demi seteguk kebahagiaan, mesti dijumput dengan luapan air mata serta peluh pertanda duka. Tangis tak selalu berarti ungkapan haru malah jadi kebisuan bertenaga. Cucuran keringat adalah upah semangat walau daya terus dikuras tiada henti.
Tangis pilu berarak bersama doa yang merenggang harap. Segengam nikmat harus dibayar dengan selaksa siksa. Bahkan, demi secuil tawa pun, mesti direngkuh dengan erangan ketidakberdayaan.
Nasib terombang-ambing dihempas badai keserahkahan; nafsu kekuasaan menggilas asa untuk berubah dan berbuah. Harga diri ini dijual di dalam ruangan mentereng, lantai benderang. Hanya demi kepuasan yang terus menguras segala ingin untuk kebaikan.
Di tengah kegundahan ini tabah dan yakin adalah cahaya yang mampu memulangkan kegelapan dengan segera. Mengusir keputusasaan dengan kemilau terang kepercayaan.
Memang terkadang harap tak selalu menjadi aksi. Namun, ketita harap lenyap dalam penderitaan maka bongkahan spirit akan hanyut ditelan arus ketidakpastian. Jadi, biarkanlah harapan itu mengangkat batu kebimbangan, melemparkannya jauh dari pikiran agar hari-hari hidup tak selalu berkerudung mendung kemelaratan.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H