Hanya ingatan yang berpendar, menggores luka pada lapar. Hingga memaksa akal tak menuruti norma.
Sebab, kini merah putih kian tercabik, lahap ditelan keserakahan penguasanya.
Anak negeri meringis dalam lolongan tak terperih, keadilan jadi mahal semahal harga beras yang terus mencekik leher.
Sampai memaksa harap menjadi musnah; pada para penabur janji yang memekikan mimpi dengan enteng. Kepada siapa bongkahan derita ini dikeluhkan; Tuan penguasa tak sudi lagi membuka telinga mendengar jeritan kemelaratan; mengedarkan mata menatap kemiskinan yang beranak-pinak dengan suburnya.
Merah-putih! Merah-putih! Merah-putih!
Tubuhmu penuh bilur perampasan dan kesewenang-wenangan; air mata ketidakadilan dan pekik perubahan. Luka yang menyayat tubuh sucimu kian menganga dalam pengabaian pada nasib anak-anak negeri.
Merah beraninya nyalamu jadi suram oleh padamnya gelora kerakyatan pada bibir-bibir penguasa. Sucinya putihmu ternoda oleh perselingkuhan antar pemegang kuasa.
Maka, Padamu kulayangkan segengam cita penuh bara perjuangan demi kibarannmu yang kian tegak di antara riuh-ramainya pencurian uang rakyat. Adalah kecintaanku padamu yang mencipta tombak penolakan pada hasrat ingin berkuasa agar menjelmalah kebaruan dalam tapak-tapak langkah anak-anak negeri bumi pertiwi.
Kembalilah kau merah putihku dengan langkah yang tegap setelah bilur-bilur lukamu dijamah keberanian untuk membongkar ketidakadilan. Anak-anak negerimu rela memasangkan raganya asalkan kau kembali pulih dari luka kemelaratan yang menghempasmu.
Matani, 201
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H