Lihat ke Halaman Asli

Ardy Firmansyah

TERVERIFIKASI

Mencari candu yang baru | Surat-surat Nihilisme

Bagi Public Figure, Internet Sudah Seperti Warung Kopi "Transparan"

Diperbarui: 7 Desember 2020   16:27

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Imam Darto ramai dibincangkan di Twitter usai cuitannya yang kontroversial, KOMPAS.com/Revi C Rantung

Akhir-akhir ini ramai pembicaraan tentang seorang presenter yang berkomentar di Twitter terkait kasus korupsi dana bansos yang dilakukan oleh Menteri Sosial.

Isi cuitannya sebenarnya adalah suatu hal yang lumrah sebagai percakapan..... di warung kopi ataupun lingkaran pertemanannya. Tetapi mungkin beliau lupa kalau ia berkomentar di warung kopi yang salah.

Mungkin warung kopi ini bisa disebut dengan 'warkop publik' yang kedaulatannya berada di tangan netizen serta memiliki peraturan yang dicakup dalam UU ITE.

Di zaman internet, obrolan warung kopi seakan sudah bisa dimediasi dengan platform media sosial. Seperti Facebook, Instagram, Twitter, bahkan Spotify (podcast) dan Youtube, serta masih banyak lagi tentunya.

Sehingga terjadi transformasi dari warung kopi menjadi 'warkop publik' yang membuat masyarakat 'seakan' bebas ngomongin apa saja, layaknya ketika nongkrong di warung kopi pinggir jalan.

Padahal mereka sebenarnya lupa dan tidak sadar bahwa mereka.... berada di 'warkop publik'. Yang tidak hanya berisi mas-mas barista dan sobat tongkrongannya yang satu frekuensi, tapi juga masyarakat Indonesia sebagai pengamat yang memperhatikan, serta UU ITE yang mengatur interaksi media sosial mereka.

Sama halnya dengan interaksi sosial pada umumnya ada aturan tertulis dan tidak tertulis. Ada batasan antara baik dan buruk, sopan dan kurang ajar. Namun itu relatif jika di lingkungan sosial, apalagi di kafe ataupun warung kopi pinggir jalan.

Ditambah jika kamu adalah orang yang terkenal, populer, sudah mempunyai 'nama' di publik. Pastinya harus berhati-hati dalam memilih tempat nongkrong dan siapa saja yang diajak nongkrong.

Untuk apa? Ya biar kalau ngobrol luwes dan santuy. Biar enak dan bebas. Gak kaku-kaku banget, namanya juga nongkrong. Kalau tidak mempertimbangkan dengan baik, membuat alur pembicaraan tongkrongan terganggu lebih-lebih malah membuat masalah.

Sama halnya dengan kejadian akhir-akhir ini, andai saja si presenter tahu 'warkop publik' mana yang lebih sesuai untuk komentar atau pembicaraan ini. Misal saja memilih untuk menggunakan Youtube ataupun Spotify (Podcast) mungkin tidak ada yang menganggu alur pembicaraan tongkrongan yang diharapkan oleh beliau.

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline