Lihat ke Halaman Asli

Malioboro, Ruang Publik yang Otentik

Diperbarui: 30 September 2015   22:43

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

 

Pagi itu, jalanan lengang. Hanya beberapa kendaraan yang berlalu lalang. Menderu sesaat kemudian hilang. Malioboro sepi di pagi hari kemudian mulai ramai, bersamaan ketika lampu pertokoan dinyalakan.

Jalan ternyata tidak hanya dapat dimaknai sebagai jalur transportasi. Tempat kendaraan berpacu melawan waktu. Mengalirkan barang dan manusia dari satu titik ke titik lainnya. Di beberapa kota, ruas jalan terkadang mempunyai magis tersendiri. Jika Bandung punya Jalan Asia- Afrika maka Yogyakarta punya Jalan Malioboro.

Malioboro dalam bahasa sansekerta mempunyai arti “Karangan Bunga”. Hal ini dikarenakan jalan Malioboro dahulunya sering dipakai untuk meletakan karangan bunga saat perayaan hari besar Kraton Ngayogyakarta. Namun, fungsinya mulai berubah menjadi jantung kegiatan ekonomi semenjak pasar tradisonal Bringharjo didirikan di kawasan tersebut 250 tahun silam. Lambat laun pertokoan mulai tumbuh subur dan memadati kanan-kiri jalan. Kini, Malioboro bukan hanya sekedar sebagai kegiatan ekonomi, namun juga magnet pariwisata sekaligus sebagai salah satu ikon Kota Yogyakarta.

Ruang memang tak ada habisnya jika dimaknai dan ditilik dari berbagai sudut pandang. Semua tergantung bagaimana seseorang melihat dan memanfaatkannya. Termasuk salah satunya kawasan Jalan Malioboro. Bagi sebagian pedagang, Malioboro adalah denyut dari kehidupan tempat menjejalkan diri dengan kesibukan demi sesuap nasi. Bagi segelintir orang yang kurang beruntung, Maliboro tak lebih dari sekedar spasi beratapkan bayang-bayang malam tempat meringkuk mencari mimipi disaat kesibukan malam mulai menghilang dan harus segera pergi disaat pagi, saat toko-toko mulai buka kembali. Bagi para wisatawan lain lagi, Malioboro adalah surga tempat berbelanja memuaskan hasrat hedonisme-nya. Sedangkan bagi sebagian mahasiswa, Malioboro adalah tempat pilihan dalam melepaskan penat setelah berkutat dengan kegiatan perkuliahan. Menghabiskan malam dengan “nongkrong” di angkringan pinggir jalan bersama teman atau sekedar menikmati kesibukan kota di malam hari, memandang ratusan langkah kaki dan pertokoan di sepanjang jalan.

Setidaknya, meskipun ruang dalam kota digempur habis-habisan oleh pembanguan. Malioboro tetap bertahan dengan otenitasnya. Menjadi kebanggaan tersendiri bagi yang merasa “memiliki”,terutamabagi penduduk asli. Bahkan bagi para “masyarakat sementara” Malioboro punya arti khusus. Ia tidak hanya sekedar ruang secara fisik (wadah untuk melakukan berbagai aktivitas) semata, namun juga ruang dalam menyimpan cerita. Ruang yang bergelimang nostalgia. Katanya“ Banyak orang tua suka datang kesini sesekali setelah meninggalkannya ribuan hari hanya untuk sekedar membangkitkan kenangan masa lalu”.

Pada akhirnya, entah dengan sengaja direncanakan atau tidak. Malioboro menunjukan bahwa ruang publik yang terbuka bagi semua dan divergen adalah ruang yang paling baik.Ruang yang tidak melupakan nilai sosial masyarakat yang semenjak dulu telah menjadi core sebuah kota.

Redefinisi Ruang Publik

Namun dibalik ketenaran Malioboro, terdapat kenyataan yang tidak mengenakan. Kota Yogyakarta tak memiliki satupun taman. Padahal ruang terbuka publik seperti taman seharusnya menjadi salah satu fragmen dalam kota yang perlu mendapat perhatian lebih. Ia tidak hanya sebatas wadah interaksi sosial semata, namun juga penopang ekonomi, lingkungan hijau, dan sarana rekreasi bagi daerah perkotaan. Terlebih bagi kota yang semakin individualis, kapitalis, dan berkutat dengan polusi serta kemacetan yang kian hari kian menjadi. Kota yang baik bukan kota yang menarik secara estetika fisik semata namun juga kota yang mampu mendekatkan komunitas di dalamnya serta menghilangkan ketimpangan sosial. Salah satu peran tersbut dapat dilakukan oleh ruang terbuka publik seperti taman.

Yang fana adalah waktu, yang abadi adalah kita. Perjalanan kecil ke Singapura setahun kemaren telah memberikan saya pemahaman baru mengenai ruang, waktu, dan manusia. Betapa ketiganya saling terkait erat membentuk budaya dan peradaban. Budaya terbentuk dari kebiasaan perilaku di satu tempat dalam kurun waktu tertentu. Ternyata, saya melihat sebagian masa depan kota yang saya tinggali saat berada disana tanpa harus menunggu sekian tahun lamanya untuk merasakan Yogyakarta tumbuh menjadi kota modern.

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline