Siapa sangka hidup di Jakarta, kita akan menjalani kehidupan yang sangat bajingan. Saban hari kita menjadi makhluk jam 9-21 itupun belum termasuk tambahan lembur. Dari hulu ke hilir kita merambah nasib yang sama demi kesejahteraan dan kesuksesan rela mengantri dalam satu barisan. Setiap rumah yang berada di gang-gang mencerminkan garnisun. Dan ratusan manusia berbaris panjang dalam sejarah kota.
Kala sore itu aku menghela satu tarikan nafas rokok kretekku sambil menggerutu tentang nasib"Untuk apa manusia bekerja?Untuk mencari nasi kah, padahal jika saat kematian manusia memberi makanan kepada sanak-family. Bahkan lebih dari itu kalo berasal dari keluarga kaya terkadang ada amplop".
Hanya saja pertanyaan itu tak menemukan jawaban-jawaban di meja kopiku. Aku sangat kesal sore itu melihat laju kepalaku, yang mengikuti arah motor dari kiri ke kanan dan sialnya itu bola-balik. Mengapa ya tubuh secara tidak sadar bersikap seperti itu terus kali mengulang padahal yang dilihat hanya sebuah lalu lintas kendaraan?
Seorang lelaki tua dengan gitar separuh abad melengkungkan lagu Oh ya karya Iwan Fals.
Oh ya, ya nasib
nasib lu jelas bukan nasibmu
oh ya, ya takdir
takdir ku jelas bukan takdir
Aku terhanyut dalam lirik, hingga memaksa ku ikut bernyanyi. Aku jadi teringat apa yang dikatakan Gie yang mengutip perkataan filsuf "Nasib terbaik adalah tidak dilahirkan, yang kedua dilahirkan tapi mati muda, dan yang tersial adalah umur tua. Rasa-rasanya memang begitu. Bahagialah mereka yang mati muda".
Penyanyi jalanan berkata kepadaku
"Nak, apa yang kau harapkan dari nasib di Jakarta? Kau lihat saja semua nasib sudah didikte oleh rambu-rambu lalu lintas sepanjang jalan kota".