Lihat ke Halaman Asli

Ardi Yansyah

Padi tumbuh tak berisik (Tan Malaka)

Menakar Polemik Nasab Alawiyyin di Indonesia

Diperbarui: 11 Agustus 2024   11:57

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Awal Mula

Sebenarnya konflik alawiyyin di Indonesia sudah dimulai sejak sebelum kemerdekaan. Pada waktu itu, keturunan Hadrami (Alawiyyin) dan Arab berkumpul dalam satu organisasi yang dinamakan Jam'iatul Khair yang didirikan oleh Sayid Abu Bakar bin Muhammad Al-Habsyi. Ia sebagai pendiri dan ketua umum pertama. Dari Jamiatul Khair, pada tahun 1928, Rabitah Alawiyah terbentuk. Konflik kalangan Hadrami dan Arab terjadi saat Syaikh Ahmad Soerkaty Al-Anshori (yang nantinya mendirikan Al-Irsyad) dari Sudan datang ke Indonesia. Pada mulanya, Ahmad Soerkaty di undang oleh Jamiatul Khair untuk berdakwah Islam di Indonesia. Tetapi Ahmad Soerkaty mempunyai sebuah pendapat dan pemikiran tentang kafa'ah, yaitu bolehnya Non Sayid menikah dengan wanita dari kalangan Al-Hadrami (Syarifah). Hal ini di tentang oleh kalangan Sayid karena dengan alasan menjaga kesucian dari keturunan Nabi Muhammad. Atas dasar hal inilah Ahmad Soerkaty berpisah dari Jamiatul Khair dan mendirikan Al-Irsyad (1915).

Para Sayyid atau yang hari ini disebut Habib/Habaib (jamak) mendapatkan tempat yang istimewa di Indonesia. Betapa tidak, masyarakat Indonesia terkhusus jamaah Nahdlatul Ulama (NU) mempercayai bahwa mereka adalah keturunan Nabi Muhammad yang mempunyai keberkahan. Saat pemikiran reformis Muhammad Abduh dan Muhammad Rasyid Ridha menyebar sampai ke Indonesia, Nahdlatul Ulama yang pada waktu itu di pimpin oleh KH. Hasyim Asyari menolak beberapa pandangan dari para reformis, seperti tidak percaya dengan keberkahan dan tawassul. Tetapi hal ini diamini oleh Muhammadiyah yang dipimpin oleh KH. Ahmad Dahlan, sehingga Muhammadiyah terhindar dari perdebatan sengit nasab Alawiyyin (meskipun nanti Muhammadiyah akan menemukan rivalnya, yaitu Wahabi yang masuk ke Muhammadiyah).

Para Alawiyyin mendapatkan posisi penting di kalangan masyarakat Muslim di Indonesia karena memang mayoritas menganut paham Nahdlatul Ulama (NU kultur yang tidak masuk ke dalam struktur) yang menyukai Maulid Nabi, Tahlilan, Yasinan, dan Manaqiban. Majelis-majelis ilmu banyak di buka dengan gaya tabligh akbar. Kiai-kiai NU pun juga mengajarkan bahwa di kalangan Alawiyyin terdapat keberkahan karena mengandung darah Nabi Muhammad.

Konflik Berlanjut

Polemik dengan kalangan Alawiyain berlanjut saat organisasi yang dipimpin oleh Habib Rizieq Syihab, FPI bersinggungan dengan KH. Abdurrahman Wahid (Gus Dur) yang notabene adalah putra dari KH. Wahid Hasyim dan cucu dari KH. Hasyim Asyari. Habib Rizieq pun sering melontarkan caci maki kepada Gus Dur, dan Kiai-Kiai NU yang tidak setuju jika Ahmadiyah di bubarkan. Begitupun saat tahun politik, Habib Bahar Smith sering mencaci maki para Kiai yang menurutnya tidak sesuai dengan pemikirannya.

Meskipun demikian, tidak semua kalangan Alawiyyin seperti itu. Ambil contoh Habib Munzir Al-Musawa yang mempunyai kedekatan yang erat dengan para Kiai NU. Dakwahnya tidak pernah memaki dan keras. Begitupun Habib Ali Al-Jufri, Habib Jindan, Habib Novel, dan Habib Umar bin Hafidz, yang dakwahnya  lembut untuk mengajak manusia ke jalan Allah.

Pengaburan Sejarah

Habib Luhfi bin Yahya menjadi sorotan tajam saat-saat ini karena dianggap banyak mengaburkan sejarah di Indonesia. Salah satu yang menjadi sorotan adalah berdirinya Nahdlatul Ulama. Habib Luthfi menyebut bahwa KH. Hasyim Asyari meminta restu kepada Habib Hasyim bin Yahya untuk mendirikan Nahdlatul Ulama. Kemudian dalam ceramahnya Habib Bahar Smith menyebutkan bahwa Nahdlatul Ulama didirikan atas restu lima Habaib di Indonesia. Pertama, Habib Abdullah bin Ali Al-Haddad, kedua Habib Abu Bakar bin Ahmad Assegaf, ketiga, Habib Abu Bakar bin Muhammad Assegaf, Keempat, Habib Hasyim bin Yahya, dan kelima Habib Thohir Al Haddad.

Atas maraknya simpang siur yang terjadi, pada rapat pleno PBNU tahun 2024, Gus Yahya menegaskan untuk menarik buku-buku yang dianggap mendistorsi sejarah NU untuk dikaji ulang agar anak cucu NU mengetahui sejarah organisasinya sendiri dengan benar. Hal ini memang menjadi catatan karena yang terkenal dari berdirinya NU dan disampaikan sendiri oleh KH. As'ad Syamsul Arifin, bahwa berdirinya NU atas restu KH. Kholil Bangkalan, yang memberikan sebuah tongkat sebagai restu berdirinya NU. Tongkat tersebut diberikan kepada KH. As'ad untuk disampaikan kepada KH. Hasyim Asyari. Dari tanda tersebut, maka semakin yakin, NU didirikan pada 31 Januari 1926 di Surabaya.

Isu lain pengaburan sejarah ialah saat KRT Sumodiningrat pejuang Yogyakarta di klaim bahwa ia adalah Habib Hasan bin Thoha bin Yahya golongan dari kalangan Alawiyyin. M. Yaser Arafat menulis di Jurnal Warisan dengan judul Kanjeng Raden Tumenggung (KRT) Sumadiningrat bukan Habib Hasan bin Thoha bin Yahya: Analisis Kritis di Balik Kesalahpahaman Sejarah menolak klaim itu. Menurut sumber primer, KRT Sumodiningrat bukanlah dari kalangan Alawiyyin melainkan dari kalangan pribumi. Silahkan jika ingin mengetahui secara detail, baca jurnalnya.

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline