Lihat ke Halaman Asli

Kartini, Wanita dan Sebuah Buku

Diperbarui: 22 April 2016   12:05

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Sosok Kartini di Indonesia sangatlah spesial. Bagaimana tidak? Hanya Kartini saja tokoh yang dijadikan simbol perjuangan kaum wanita dan hanya dirinya saja pahlawan yang diperingati kelahirannya. Jika kita lihat hari pahlawan, seharusnya bisa saja disebut hari Bung Tomo, karena dari Bung Tomo lah para prajurit bergerak melawan Belanda dan sekutu di Surabaya. Kemudian Bandung lautan api, sebenarnya bisa saja disebut hari Muhammad Toha, karena dialah yang pertama membakar markas Belanda dengan bom bunuh diri, tapi mereka semua tidak disebut namanya dalam hari itu, mereka hanya diceritakan kepahlawanan mereka pada hari itu. Bahkan mereka tidak dirayakan kelahirannya oleh Bangsa Indonesia meskipun mereka juga banyak jasanya. Bahkan Soekarno dan Moh. Hatta hari kelahirannya tidak dirayakan, hanya kartini saja yang dirayakan.

Kartini juga dijadikan simbol perjuangan wanita di mana para tokoh wanita seperti Cut Nyak Dien, Cut Di Tiro, Dewi Sartika dan lain-lain ikut berjuang melawan penjajah. Bahkan Cut Nyak Dien memegang senjata melawan penjajah sehingga dirinya harus diasingkan sampai meninggal dunia. Dari situlah saya lebih senang hari Kartini disebut sebagai hari perjuangan kaum wanita.

Bisa kita lihat di beberapa literatur sejarah, Kartini adalah wanita yang melawan sistem Patriakhi (Pria harus mendominasi wanita), di mana wanita tidak diizinkan sekolah sampai tinggi, hanya tinggal dirumah dan mengurusi Kasur, Dapur dan Sumur. Di tambah Kartini hidup dalam masyarakat Jawa yang kental sistem Patriakhinya. Bayangkan saja, pada umur 12 tahun Kartini dinikahkan dan tidak boleh melanjutkan sekolah lagi, mungkin jika di zaman sekarang, seperti itu sudah kena kasus pernikahan di bawah umur dan akan dicekal oleh KPAI (komisi perlindungan anak Indonesia).

Tapi meskipun seperti itu, Kartini tidak menyerah untuk memperjuangkan hak wanita untuk bersekolah sampai tinggi. Wanita derajatnya sama dihadapan pria dalam masalah pendidikan, ekonomi, sosial dan budaya. Wanita berhak menentukan nasibnya sendiri dan berhak memilih pasangan hidupnya tanpa dipaksa. Maka bisa kita lihat, wanita mampu mendapatkan hak yang sama di mata negara, banyak para wanita yang menjadi ahli dalam berbagai bidang olahraga, politik, keagamaan, sosial dan budaya.

Tapi dibalik itu semua, ternyata perjuangan Kartini untuk membebaskan kaum wanita itu diilhami oleh surat al-Fatihah. Suatu ketika Kartini mengaji kepada KH. Soleh Darat, di mana dia menjelaskan tafsir surat al-fatihah. Kartini langsung tertegun dan kagum bahwa ternyata surat al-Fatihah mengandung makna yang luas. Al-fatihah artinya pembebasan dan pembuka, dimana kaum wanita harus terbebas dari belenggu kebodohan. Maka surat yang dia tulis “Habis gelap terbitlah terang” itu terilhami oleh kalimat al-Quran “Minadzulumati Ilanuur” (Dari kegelapan menuju terang benderang). Nah dari bukulah nama Kartini menjadi harum dan abadi, karena mungkin umur akan habis tapi tulisan akan terus abadi dan akan terus dibaca oleh setiap orang.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H




BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline