Lihat ke Halaman Asli

Ardi Winangun

TERVERIFIKASI

seorang wiraswasta

Setelah Tepilih Lalu Ingkar Janji

Diperbarui: 19 Januari 2024   08:26

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Politik. Sumber ilustrasi: FREEPIK/Freepik

Dalam suatu kesempatan di Kabupaten Bogor, beberapa waktu yang lalu, Ketua Majelis Tinggi Partai Demokrat sekaligus Presiden VI Republik Indonesia, Susilo Bambang Yudhoyono (SBY), mengatakan agar para pasangan calon presiden (capres)-calon wakil presiden (cawapres) serta calon anggota legislatif (caleg) agar hemat berjanji dalam Pemilu 2024.

Pria asal Kabupaten Pacitan, Jawa Timur, itu mengatakan demikian sebab bila mereka mengobral janji muluk-muluk, dirinya khawatir bila janji yang muluk-muluk itu tidak bisa terwujud karena uangnya tidak ada.

Dalam masa kampanye kalau kita lihat baik dalam spanduk, baliho, ilan di koran, ucapan langsung, maupun rilis resmi dari peserta pemilu, mereka mengumbar berbagai macam janji dan harapan baru kepada rakyat bila terpilih menjadi presiden-wapres atau wakil rakyat.

Mereka mengumbar janji tentu untuk menarik pemilih agar mendukung dirinya menjadi presiden-wapres atau wakil rakyat. Janji yang mereka umbar pun tidak tanggung-tanggung dan terasa bombastis serta luar biasa. Misalnya pasangan capres-cawapres No.2, Prabowo-Gibran mengumbar janji makan siang-susu gratis untuk seluruh anak Indonesia. Janji itu disebut oleh tim sukses mereka menjadi program unggulan.

Mendapat janji tersebut tentu rakyat senang sebab bagi rakyat, terutama kaum miskin, akan meringankan beban hidup mereka untuk membiayai makan bagi anaknya. Dengan makan siang ditambah susu gratis, anak-anak mereka tidak hanya sekadar kenyang namun juga menjadi sehat.

Tak hanya pasangan No.2 yang mengumbar janji, pasangan capres-cawapres No.1, No.2, dan caleg lainnya pun sama meski dengan kadar yang berbeda. Janji yang diumbar pasangan capres-cawapres tentu beda kadarnya dengan janji caleg tingkat kabupaten.

Lalu apakah setelah mereka terpilih, janji itu akan dilaksanakan? Selepas pemilu, ada pihak yang terpilih, ada pula pihak yang gagal. Bagi pihak yang gagal tentu mereka tak perlu merealisasikan janjinya sebab ia tidak memiliki instrument (kekuasaan) dan rakyat pun tidak menagih namun bagi mereka yang terpilih, janji yang sudah ditebar itu bisa dilupakan atau berubah skala prioritasnya. Mereka berani melupakan janji sebab diyakini cara yang ditempuh adalah secara transaksional. Mereka menganggap bingkisan dan amplop yang mereka sebar sebagai cara membeli suara.

Bila yang terpilih menjadi presiden-wapres, masalah yang dihadapi lebih rumit dibanding dengan mereka yang terpilih menjadi wakil rakyat. Pasangan presiden-wapres di awal-awal masa jabatan tentu tidak bisa langsung merealisasikan janjinya sebab ia harus menata kekuasaan. Menata kekuasaan dengan cara bagi-bagi kekuasaan kepada partai pendukung, relawan, dan pihak-pihak lain yang memberi dukungan dalam berbagai bentuk. Di sinilah konflik kepentingan itu muncul dan bisa menjadi pemicu pengabaian janji.

Mempunyai kekuasaan dan tidak itu suatu hal yang beda. Ketika mereka yang terpilih berkuasa, mereka tidak lagi sibuk menemui rakyat. Mereka lebih sibuk mengurusi kekuasaannya. Toh kalau bertemu dengan rakyat itu sebagai jalan merawat kekuasan. Akibat yang demikian mereka lupa atau melupakan janji-janji yang sudah ditebar.

Masalahnya tidak berhenti di situ. Untuk merealisasikan janji, rupanya banyak prosedur dengan berbagai pihak yang harus disepakati, seperti dengan lembaga legislatif. Di sinilah merealisasikan janji mulai menghadapi kendala, seperti proses pencairan anggaran yang lama, berbelit, bahkan ditolak. Akibat yang demikian maka realisasi janji tidak secepat yang diinginkan rakyat. Kendala yang ada juga bisa membuat realisasi janji tidak semassif seperti yang dikampanyekan sehingga janji yang diberikan dilaksanakan tidak menyeluruh dan terkadang hanya simbolis.

Realisasi janji terganggu tidak hanya disebabkan prosedur yang rumit namun juga karena adanya ketidakkonsistenan. Janji yang mereka umbar prioritasnya bisa berubah, diganti, atau diturunkan bila kondisi sosial-politik di masyarakat berubah. Banyak contoh bagaimana ketika para capres-cawapres dan caleg saat kampanye menjanjikan berbagai hal namun saat terpilih janji itu tidak terealisasi dengan sejuta alasan yang mereka kemukakan. Mereka itulah orang-orang yang tidak konsisten.

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline