Lihat ke Halaman Asli

Ardi Winangun

TERVERIFIKASI

seorang wiraswasta

Tolak Perpanjangan Masa Jabatan Presiden

Diperbarui: 4 Maret 2022   07:22

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Politik. Sumber ilustrasi: FREEPIK/Freepik

Usulan memperpanjang jabatan Presiden, mulai dari penundaan pemilu atau lewat amandemen UUD NRI Tahun 1945 hingga jabatan Presiden bisa menjadi periode, sudah jelas-jelas dikatakan oleh partai politik. PKB lewat Ketua Umumnya, Muhaimin Iskandar, mengusulkan agar pemilu ditunda satu hingga dua tahun ke depan. Sama dengan PKB, PAN juga mengusulkan hal yang demkian. Zulkifli Hasan, Ketua Umum PAN, menyebut banyak alasan mengapa pemilu perlu diundur. Selain faktor pandemic Covid-19 yang belum reda, konflik Rusia-Ukraina juga penyebab mengapa pemilu perlu diundur.

Sementara Golkar dengan mengatasnamakan rakyat menyebut jabatan Presiden bisa diperpanjang menjadi tiga periode. Hal demikian dikatakan oleh Ketua Umum Partai Golkar Airlangga Hartarto.

Partai politik mengatakan demikian, entah didasari pragmatisme atau tekanan politik yang kuat, pastinya akan menimbulkan sikap dan pendapat yang pro dan kontra dari masyarakat. Bagi pendukung dan kelompok yang mendapat kenikmatan dari kekuasaan Presiden, usulan itu tentunya sangat menggembirakan. Namun bagi kelompok pro demokrasi dan konstitusional, usulan tersebut sangat mengkhawatirkan bagi masa depan bangsa Indonesia.

UUD NRI Tahun 1945 sebagai landasan hukum tertinggi dalam mengarungi perjalanan kehidupan bermasyarakat, berbangsa, dan bernegara, di dalamnya mengatur bahwa jabatan Presiden hanya dua periode. Aturan demikian, merupakan buah dari Gerakan Reformasi 1998. Gerakan yang menumbangkan Presiden Soeharto tersebut muncul sebab pada masa itu, bangsa ini hidup dalam sistem pemerintahan yang otoriter. Kekuasaan yang ada sudah dicap yang demikian sebab salah satu faktornya adalah terlalu lamanya jabatan Presiden yang dikuasai oleh satu orang. Agar masa yang disebut Orde Baru itu tidak terulang maka jabatan yang ada perlu dibatasi agar Presiden selain kekuasaannya menjadi terbatas, tidak semena-mena dan berbuat otoriter, serta tidak lu lagi lu lagi.

Selepas amandemen, proses jabatan Presiden selama dua periode itu bisa berjalan dengan baik di masa Presiden Susilo Bambang Yudhoyono. Susilo Bambang Yudhoyono patuh pada konstitusi sehingga letupan-letupan agar dirinya memperpanjang jabatan tidak dilakukan. Proses regenerasi kepemimpinan pun terjadi dengan baik lewat Pemilu 2014.

Ada anggapan pemerintah saat ini sukses dengan pembangunan yang telah dilakukan, terutama infrastruktur, seperti jalan tol. Namun kalau kita lihat, di tengah masyarakat masih ada pengangguran, ketidakadilan hukum, kemiskinan, kesejahteraan yang tidak merata, kelangkaan minyak goreng, kedelai, dan masalah-masalah lainnya.

Bila kesuksesan dalam pembangunan hanya dilihat dari survei yang menunjukan tingkat kepuasan masyarakat pada pemerintah sangat tinggi, hingga 73 persen, lalu kemudian dijadikan patokan oleh partai politik untuk memperpanjang jabatan Presiden, hal demikian sangat naif sekali. Survei memang saat ini kerap dijadikan ukuran namun tidak selamanya hasil survei itu benar. Beberapa kali hasil survei dalam pemilu legislatif dan pilkada meleset.

Terlepas dari masalah itu, perlu kita ingatkan kembali kepada partai politik, terutama; dan mereka yang masih mendukung perpanjangan jabatan Presiden, bahwa masalah ini, soal  masa jabatan Presien adalah amanat reformasi dan amanat konstitusi. Pengalaman masa lalu di mana seseorang bisa menjabat Presiden lebih dari 10 tahun ternyata berpotensi menjadi otoriter. Sebagai seorang yang otoriter maka perilaku yang ada selain tidak konsisten dalam bersikap, ia juga melakukan tindakan yang sewena-wena. Banyak aturan yang ditabrak dan dilanggar. Terbukti, cerita-cerita pada masa lalu seperti penangkapan aktivis, sensor berita, pembungkaman, korupsi, kolusi, dan nepotisme, juga terjadi pada saat ini.

Sejarah masa lalu yang kelam, terutama dalam dunia demokrasi, harus terus kita ingatkan. Masa lalu yang kelam tidak boleh terulang. Jangan sampai karena pragmatisme politik atau tidak berani mengatakan tidak, lalu memberi peluang munculnya kembali cerita-cerita masa lalu. Politisi-politisi itu tidak merasakan beratnya mengawal konstitusi. Lihatlah nanti para pengawal konstitusi yang berasal dari mahasiswa, cendekiawan, intelektual, buruh, dan kelompok yang lain, termasuk pers, yang akan bergelut dengan waktu agar amanat reformasi dan konstitusi tetap terjaga. Para mahasiswa akan berhari-hari turun ke jalan, intelektual dan cendekiawan setiap saat memberi pendapat tentang perlunya pembatasan jabatan, serta pres yang terus mengabarkan tentang hal yang demikian.

Agar kejadian pada masa lalu tidak terulang, kerusuhan dan tragedi 98, sebab sistem demokrasi yang otoriter, di mana yang semuanya berujung pada kultus individu dan penumpukan kekuasaan dengan mengakibatkan tidak adanya partisipasi public, kesetaraan, dan keadilan, maka perpanjangan jabatan Presiden, entah dengan penundaan pemilu atau amandemen UUD agar terjadi bisa tiga periode, harus ditolak, tolak, tolak.

Penolakan ini bukan berdasarkan pada factor kebencian atau ketidaksukaan pada seseorang namun lebih pada berdasarkan pada amanat reformasi dan konstitusi. Memang tidak diharamkan untuk mengamandemen UUD namun bila yang diamandemen kelak memberi peluang munculnya pemerintahan yang otoriter, korup, dan tidak adil, maka hal yang demikian berpotensi terulangnya peristiwa pergantian Presiden yang tidak sebagaimana mestinya.




BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline