****
Hembusan angin sepoi-sepoi dari puluhan pohon bambu semakin melelapkan Sobar, Kudir, Warso, dan Miko. Sejak pukul 11.00 tadi siang, keempat orang itu tertidur di samping makam Mbah Jati Kramat. Makam orang paling kaya di Dusun Gunung Getih itu dijadikan tempat klesetan oleh para penggali kubur karena berlantaikan marmer dari Italia dan beratap genting tahan lama. Hal demikianlah yang membuat makam itu sangat teduh dan nyaman. Mbah Jati Kramat dulu adalah juragan beras kesohor.
Makam Mbah Jati Kramat terletak di dekat pintu gerbang Kuburan Gondo Arum. Kuburan seluas 2 hektar itu pernah dijadikan tempat pembantaian orang-orang yang dituduh anggota PKI. Bangunan makam Mbah Jati Kramat terlihat paling menonjol di antara makam-makam yang lain. Ratusan makam lainnya nampak tak terurus, nisan-nisannya tercerabut dari tanah.
Tanah yang mengering membuat kuburan itu menjadi tandus sehingga sebagaian tanahnya retak. Retakan itu mengular. Bila diamati ke dalam retakan itu, terlihat selubung gelap sehingga pandangan orang yang melihat ke bawah tak tembus hingga ke dalam. Tak tahu siapa yang terkubur di bawah sana.
"Kriiiit," bunyi pintu gerbang kuburan terdengar setelah didorong oleh Soleh. Dengan buru-buru, kuncen Kuburan Gondo Arum itu menuju ke arah makam Mbah Jati Kramat. Begitu berada di dekat Sobar, Soleh langsung menggoyang-goyangkan tubuhnya. "Bar, Bar, bangun," katanya. Belum tersadar dari tidurnya Soleh mengulangi lagi tindakan itu dengan lebih keras. "Bar, Bar, Mbah Slamet sesepuh Dusun Kali Nanah meninggal dunia," Soleh mengatakan demikian sambil memegang kaki Sobar.
Mendengar kata meninggal, sontak Sobar, Kudir, Warso, dan Miko langsung tergelagap dari tidurnya. Dengan sontak mereka langsung mencari cangkul, sekop, linggis, dan sabit milik mereka. "Tenang, tenang," Soleh menenangkan keempat laki-laki itu. "Kita cari tanah yang kosong di kuburan ini dulu," Soleh mengatakan demikian sambil beranjak dari tempat Sobar tidur. "Yo, yo," Sobar menimpali.
Kelima orang itu pun berputar di kuburan untuk mencari tanah kosong di sela makam-makam untuk membaringkan jenazah Mbah Slamet. Setelah berputar sambil celingak-celinguk, akhirnya Soleh menemukan sela tanah di antara makam. Tanah seluas 1 kali 2 meter yang hendak digali itu berada di samping pohon kamboja yang bercabang lima. "Di sini tempatnya," Sobar menunjukkan tempat itu kepada Sobar, Kudir, Warso, dan Miko.
Tanpa banyak bicara, Sobar menyabit rumput dan tumbuhan liar lainnya. Setelah tanah itu dirasa bersih dari tanaman yang biasanya dicari warga sekitar untuk makanan kambing dan sapi, Sobar langsung memerintahkan Kudir untuk menggali. Tanpa banyak cakap, Kudir langsung mengayunkan cangkulnya. Setelah beberapa puluh ayunan, Warso langsung mengangkat tanah-tanah itu dengan sekopnya. Kudir kembali mengayunkan cangkul besi itu.
"Jreg, jreg, jreg, jreg, jreg," Kudir mengayunkan cangkul kelima kali. Namun begitu cangkulan keenamnya dihujamkan ke tanah terdengar bunyi benturan agak keras, "trang." Para penggali kubur itu tahu bahwa cangkul itu menghantam batu besar sehingga secara spontan Miko ganti bertindak. Dihujamkan linggis tepat di samping batu itu dan selanjutnya digerakkan ke kanan dan kiri agar batu itu goyah dari tanah yang mendekapnya. Apa yang dilakukan itu berhasil dan batu sebesar bola kaki itu dapat dicongkel dan diangkat.
Ganjalan berhasil disingkirkan, Kudir langsung melanjutkan pekerjaan. Dirasa Kudir lelah, Warso menggantikan. Tak sampai 1 jam, lubang kubur dan liang lahat yang siap untuk dijadikan tempat pembaringan abadi Mbah Slamet itu selesai digali.
Sambil menunggu jenazah, keempat orang kembali menuju ke makam Mbah Jati Kramat. Sesampai di tempat itu, Joko, salah satu keluarga Mbah Slamet mendatangi keempat orang itu sambil membawa bungkusan nasi dan seteko teh manis. Bungkusan nasi dan seteko teh manis itu diserahkan kepada Sobar. "Matur suwun yo, terima kassih ya mas," ujar Sobar. "Podo, podo, sama-sama mas," Joko menimpali. "Mas uang rokoknya habis pemakaman selesai ya," Joko berujar kembali. Mendapat penjelasan yang demikian, Sobar dengan tersenyum mengatakan, "Wis nggak usah dipikir mas, sampeyan kan masih saudara dengan saya." Uang rokok adalah istilah upah bagi para penggali kubur yang sudah membuatkan liang lahat.