Kehadiran Timnas Indonesia Puteri, Garuda Pertiwi, dalam Piala Asia Wanita atau AFC Women's Asian Cup 2022 yang digelar di India patut tetap diberi apresiasi meski dalam laga dengan Australia, Thailand, dan Filipina, Garuda Pertiwi kalah telak, 0-18, 0-4, dan 0-6.
Mereka sebenarnya mempunyai potensi yang tinggi terbukti mampu lolos ke India setelah di babak penyisihan mampu mengalahkan Singapura walau dalam babak penyisihan Grup C juga ada factor keberuntungan yakni dua negara lainnya, yakni Korea Utara dan Irak mengundurkan diri. Tentu bila dua negara yang juga terbilang kuat dalam sepakbola wanita Asia itu tidak mengundurukan diri, kita tidak tahu apakah Indonesia bisa lolos ke India atau tidak.
Kalah telak dari Australia dan Thailand harus menjadi suatu renungan bagi kita semua. Apa yang terjadi di India harus menjadi evaluasi, apakah sebenarnya kita sudah serius membina sepakbola wanita? Pertanyaan demikian dilontarkan sebab negara-negara yang lain, seperti Thailand, Filipina, dan Myanmar, apalagi negara-negara Eropa, Australia, Asia Timur, Amerika, beberapa negara Timur Tengah, memiliki timnas wanita yang tangguh dan kompetitif namun kita kok tidak, padahal dari segi sumber daya manusia bangsa ini memiliki jumlah penduduk wanita yang melimpah.
Belum berkembangnya sepakbola wanita di Indonesia kalau kita lihat memang belum ada niatan yang kuat dari pemerintah, PSSI, untuk melakukan. Disebut timnas wanita yang ada lahir dari ajang tanpa kompetisi. Dari sini saja sudah menunjukan persiapan timnas yang ada bisa dikatakan dadakan, dibentuk kalau ada champions atau kejuaraan. Tak ada kompetisi tentu jam terbang yang mereka mainkan sangat minim sehingga pengalaman bertanding kurang. Siapa-siapa yang direkrut pun kita tidak tahu orangnya dan bagaimana caranya.
Nah, untuk itulah PSSI perlu menggulirkan kompetisi untuk sepakbola wanita. Klub-klub yang ada didorong untuk melahirkan varian klub wanita. Di sini sudah banyak klub sepakbola professional, nah mereka diwajibkan untuk membentuk klub wanita. Memang sudah ada di antara mereka yang terbentuk namun kalau kita lihat mereka belum bertanding satu dengan yang lainnya atau belum berkompetisi. Klub-klub yang ada sebatas latihan dengan jam latihan yang minim.
Untuk membentuk timnas sepakbola wanita yang bisa diharapkan tidak hanya dibuat dengan menyelenggarakan kompetisi di mana nanti dari kompetisi tersebut akan muncul talenta-talenta pesepakbola wanita yang bagus namun juga perlunya diubah pola pendidikan keolahragaan di tanah air.
Selama ini pola pendidikan keolahragaan kita sepertinya masih ada batas gender atau perbedaan jenis kelamin. Kalau kita lihat pendidikan keolahragaan di sekolah-sekolah, mulai dari taman kanak-kanak, sekolah dasar, SMP, dan SMA, ada perbedaan materi atau ilmu yang diberikan kepada siswa. Perbedaan tersebut adalah semua cabang olahraga bisa dilakukan oleh murid (siswa dan siswi) namun ada keengganan dari guru olahraga untuk mengajarkan sepakbola kepada siswi, mungkin tidak ada kurikulumnya. Lihat saja, di lapangan-lapangan saat jam olahraga, akan sering kita lihat siswa-siswa bermain bola, sementara yang siswi duduk-duduk saja menonton atau bermain volley atau games lainnya.
Dari sistem pendidikan keolahragaan saja kita sudah tidak memberi ruang bagi kaum wanita untuk berlatih sepakbola sejak dini. Akibat yang demikian ribuan siswi yang sebenarnya punya keinginan, bakat, dan potensi dalam dunia sepakbola menjadi tidak tersalurkan. Mereka tetap bisa berolahraga dan berkompetisi namun tidak untuk sepakbola. Di setiap SMP, ada tim volley dan basket siswi namun tidak ada tim sepakbola siswi. Beda dengan siswa, mereka punya tim volley, basket, dan sepakbola.
Dalam melakukan pembinaan dini dunia sepakbola, salah satu caranya kita bisa melihat Jerman. Di negeri ya memang jagonya main bola itu, pembinaan sepakbola bisa dikatakan dimulai dari desa-desa. Di setiap desa mereka rata-rata memiliki klub desa. Klub desa itu memiliki dua lapangan, lapangan latihan dan lapangan pertandingan. Hebatnya lapangan yang ada itu sungguh sangat luar biasa, rumput hijau, ada resapan air sehingga tidak banjir, dan rutin dipelihara oleh pengelola desa.
Tak hanya itu, selain mereka memiliki klub desa yang terdiri dari remaja/pemuda, mereka juga melakukan pembinaan. Pembinaan diberikan kepada semua. Saya pernah melihat di lapangan Desa Thalmasing, Bavaria, anak-anak perempuan bersama anak-anak laki-laki secara bersama melakukan latihan pada suatu sore hari, mungkin selepas sekolah. Dari sini menunjukan bahwa ada kesetaraan dan ruang yang sama bagi laki-laki dan perempuan untuk bisa bermain bola. Antusias anak-anak perempuan Jerman yang terimbas dari besarnya timnas pria untuk bermain bola bisa tersalurkan mulai dari desa-desa.
Pendidikan kesetaraan dalam sepakbola inilah yang membuat sepakbola nasional Jerman tidak njomplang, timnas laki-laki dan wanitanya sama-sama tangguh. Beda dengan Indonesia dan Filipina. Timnas pria Indonesia kuat namun timnas wanitanya masih belum, sedang Filipina sebaliknya.