Saat pertemuan antara Presiden Joko Widodo dengan pimpinan partai koalisi (PDIP, Golkar, Gerindra, PKB, Nasdem, dan PPP), hadir Zulkifli Hasan dan Eddy Soeparno. Mereka adalah Ketua Umum dan Sekjen Partai Amanat Nasional (PAN). Kehadiran petinggi partai yang berlambang matahari tersebut mengundang banyak perhatian sebab posisi PAN saat ini belum jelas di mana posisinya, anggota koalisi atau oposisi. Bila disebut sebagai anggota koalisi partai pendukung Joko Widodo, PAN saat ini belum mendapat jatah menteri. Namun bila dikatakan sebagai oposisi, PAN kok hadir dalam pertemuan itu.
Hadir dalam pertemuan antara Joko Widodo dengan pimpinan partai koalisi, Istana Presiden, Jakarta, 25 Agustus 2021, Ketua Umum PDIP Megawati Soekarnoputri, Ketua umum Nasdem Surya Paloh, Ketua Umum Partai Gerindra Prabowo Subianto, Ketua Umum Golkar Airlangga Hartarto, Ketua Umum PKB Muhaimin Iskandar, dan Ketua Umum PPP Suharso Monoarfa, serta Ketua Umum PAN Zulkifli Hasan. Masing-masing didampingi oleh sekjennya. Kehadiran Zulkifli Hasan dalam pertemuan tersebut dikatakan diundang oleh presiden.
Ada lima topik yang dibahas dalam pertemuan tersebut, lima topik itu adalah penanganan pandemi Covid-19, perekonomian nasional, strategi ekonomi dan bisnis negara, otonomi daerah, dan ibu kota negara.
Lima topik yang ada bisa jadi merupakan bahasan formalitas. Ada sisi lain yang dirasa yang lebih penting bagi mereka, yakni konsolidasi politik. Sebagai pendukung kekuasaan, pastinya konsolidasi kekuasaan perlu terus disegarkan, salah satu bentuk penyegaran itu adalah adanya silaturahmi politik di antara mereka. Selama pandemic Covid-19, pertemuan antara presiden dan pimpinan partai koalisi sepertinya belum pernah digelar secara bersama. Toh kalau bertemu paling tidak bebarengan. Pertemuan yang terjadi paling sebatas pertemuan antara presiden dengan menteri sebab beberapa ketua umum partai politik menjadi pembantu presiden alias menteri.
Pemerintahan saat ini merupakan pemerintahan yang kuat. Buktinya, Joko Widodo didukung oleh partai, dari partai politik yang jumlah kursinya di DPR-nya paling tinggi, PDIP; hingga kursi yang paling rendah, PPP. Dari partai yang ada, yang jelas-jelas menyatakan diri berada di luar kekuasaan, hanya Demokrat dan PKS. Sedang PAN masih belum jelas di mana posisinya.
Sebagai kekuasaan yang didukung oleh banyak partai dan kursi yang ada di DPR mayoritas, membuat pemerintahan saat ini kuat ditambah banget. Akibat yang demikian, berbagai kebijakan yang dikeluarkan oleh Joko Widodo berjalan mulus. Disahkannya UU Cipta Kerja bukti bahwa tak ada rintangan bagi Joko Widodo dalam memainkan kepentingannya. Pembangunan yang massif yang dilakukannya pun selama ini tak ada yang memprotes, kalau ada itu dari Demokrat dan PKS.
Dukungan dari PDIP, Gerindra, Golkar, PKB, Nasdem, dan PPP, itulah yang membuat kekuasaan ini kokoh berdiri sehingga tak ada angin yang mampu mengoyahkannya. Kuatnya dukungan dan bukti selama perjalanan kekuasaan Joko Widodo aman-aman saja dari kritikan DPR, membuat koalisi yang dibangun dirasa sudah cukup sehingga seolah-olah kekuasaan yang ada saat ini tidak perlu mendapat dukungan dari partai yang lain.
Masuknya partai politik yang lain, PAN, dirasa justru akan menimbulkan masalah bagi partai yang lain sehingga hal yang demikian justru akan membuat soliditas di antara mereka menjadi mengendur. Jatah satu kursi menteri bila diberikan kepada PAN, bisa mengurangi jatah kursi yang sudah dinikmati oleh partai-partai yang lain. Dari sinilah, masuk tidaknya PAN, bukan hanya ditentukan oleh Joko Widodo namun juga oleh pertimbangan pimpinan partai koalisi lainnya.
Keberadaan PAN sendiri di DPR maupun kancah perpolitikan nasional juga tidak terlalu signifikans. Dalam raihan suara dan kursi di Pemilu Legislatif 2019, PAN berada pada urutan kedua dari bawah atau urutan kedelapan dari atas. PAN di bawah PDIP, Golkar, Gerindra, Nasdem, PKB, Demokrat, dan PKS. Hanya berada di atas PPP. Dari jumlah kursi yang ada, bila ada suatu keputusan yang perlu di-voting, ada atau tiada PAN, suara partai koalisi akan tetap menang.
Posisi yang demikian membuat bargaining atau daya tawar PAN rendah di mata kekuasaan. Dalam perjalanan politiknya, PAN pun bukan pendukung sejati Joko Widodo. Selama dua kali Pemilu Presiden, 2014 dan 2019, partai ini mendukung rival Joko Widodo. PAN menyatakan dukungan kepada Joko Widodo setelah beberapa tahun pemilu berlalu. Jejak sejarah inilah yang membuat PAN semakin sulit diterima Joko Widodo dan partai koalisi lainnya bila hendak bergabung dalam koalisi.
Hal-hal di ataslah yang membuat PAN selalu digantung atau dalam posisi yang tidak pernah jelas. Kemarin-kemarin menjelang ada reshuffle kabinet dalam pemerintahan Joko Widodo dalam periode saat ini, ada kabar kemungkinan PAN mendapat jatah menteri sebagai tanda jadi sebagai anggota koalisi namun setelah reshuffle diumumkan, rupanya tidak ada jatah menteri buat PAN. Harapan itu sirna dan membuat partai ini menjadi down.