Keikutsertaan pelajar dalam aksi menolak disahkannya UU Omnibus Law Cipta Kerja, menjadi perhatian tersendiri bagi masyarakat. Banyak berita, sebelum mereka melaksanakan aksi penolakan dengan element masyarakat lainnya, seperti buruh dan mahasiswa, mereka lebih dahulu telah diamankan oleh aparat keamanan meski ada yang lolos dan ikut unjuk rasa.
Tak hanya itu nasib yang mereka alami, kaum pelajar yang ikut unjuk rasa dituduh tak tahu apa isi UU Omnisbus Law. Bahkan ada kepala daerah yang berdialog dengan para pelajar, sayangnya kepala daerah itu tidak memberi semangat kepada mereka tentang hak menyalurkan pendapat dan kebebasan berbicara namun malah disarankan untuk pulang saja.
Petaka yang lebih mengerikan kepada para pelajar adalah, mereka yang ikut demonstrasi akan dipindahkan sekolah ke sekolah pinggiran kota bahkan akan dikeluarkan. Terlalu ancaman yang hendak diberikan oleh para kepala daerah itu. Bahkan ada ancaman mereka akan kesulitan mencari pekerjaan.
Pelajar ikut menyampaikan hak-hak konstitusionalnya yang dijamin oleh UUD, sebenarnya terjadi bukan hanya pada masa-masa saat ini. Pada masa pergerakan kaum muda, pada tahun 1920-an, kaum pelajar (pelajar dan mahasiswa) dalam usia yang terbilang muda (belia) mampu memberikan ide dan gagasan yang cerdas menyumbangkan banyak pikiran tentang Indonesia. Bahkan menyumbangkan tenaga fisiknya dalam di medan laga.
Gerakan kelompok pelajar tak berhenti di sana dan yang paling terlihat dari gerakan kaum pelajar adalah pada tahun 1966. Di mana para pelajar tergabung dalam Kesatuan Aksi Pelajar Indonesia (KAPI) ikut menyuarakan Tritura.
Tuduhan-tuduhan bahwa KAPI dimobilisasi oleh kelompok dan kekuatan tertentu, pasti muncul, seperti tuduhan-tuduhan yang saat ini dialamatkan kepada mereka.
Pada gerakan mahasiswa pada tahun 1998-an pun di mana akhirnya Presiden Soeharto turun, kelompok pelajar pun juga terlibat. Mereka juga aktif seperti mahasiswa dan kelompok masyarakat lainnya.
Kita tidak boleh gegabah menuduh kelompok pelajar ditungganggi sebab mereka sebagai generasi yang terdidik, sekolah mulai dari TK, SD, SMP, dan SMA, pastinya sudah diajarkan logika dan kepekaan sosial sehingga bisa membangun satu pikiran yang cerdas. Pikiran-pikiran inilah biasa diwujudkan oleh kelompok pelajar dengan berbagai macam kreatifitas, lewat seni, budaya, olahraga, dan ungkapan rasa.
Mahasiswa kritis, dalam skala nasional bisa terlihat dalam misalnya demonstrasi UU Omnisbus Law. Namun sebenarnya mereka di lingkungan sekolah sendiri pun juga pernah melakukan hal serupa.
Banyak berita, bagaimana anak-anak pelajar demonstrasi di sekolah menentang, misalnya arogansi guru, kepala sekolah, atau hal-hal lainnya. Jadi kaum pelajar unjuk rasa itu sebenarnya sudah biasa.
Kita tidak tahu mengapa kekuasaan dan pemerintah saat ini selalu curiga dengan kelompok pelajar. Sebelum disudutkan dan diancam akibat ikut unjuk rasa menentang UU Omnisbus Law Cipta Kerja, mereka telah dituduh terpapar paham radikalisme.