Akhirnya pemerintah secara resmi mengeluarkan larangan mudik saat Lebaran pada tahun ini. Larangan ini dibuat pastinya agar wabah pandemi covid-19 tidak semakin menjadi-jadi. Sebelumnya banyak diberitakan, ketika ada warga mudik dari Jakarta ke kampung halamannya, disebut pemudik itu telah menularkan virus yang ada pada dirinya kepada orang terdekat dan menimbulkan kekhawatiran penularan kepada lingkungan bahkan dokter dan tenaga kesehatan.
Bila ada pergerakan massif para pemudik yang berasal dari zona merah, tentu hal yang demikian akan semakin mengkhawatirkan sebab potensi penularan akan lebih cepat dan meluas. Agar pergerakan manusia yang berpotensi menularkan wabah covid-19 dapat ditangkal dan dicegah maka pemerintah menetapkan aturan larangan mudik mulai 24 April 2020, hari di mana ummat Islam mulai melakukan puasa Ramadhan.
Di saat masa yang normal, orang mulai mudik biasanya mulai dilakukan di awal-awal bulan puasa. Mereka mudik duluan bisa jadi ada anggapan menunaikan ibadah puasa Ramadhan, lebih nyaman dan khusuk bila dilakukan di kampung halaman. Tak hanya itu, mereka melakukan mudik duluan, bisa jadi menghindari lonjakan pemudik menjelang Lebaran yang dirasa bagaimana tiket segala macam transportasi telah terjual, sementara jalur-jalur mudik yang ada sesak bahkan macet.
Untuk mendukung pelarangan mudik, pemerintah melarang pergerakan angkutan umum (darat, laut, udara) dan pribadi keluar dari zona merah. Dengan aturan ini maka segala transportasi umum seperti bus dan kereta api juga kendaraan pribadi seperti roda empat dan dua, tidak bisa meninggalkan daerah dan provinsi yang masuk dalam zona merah, seperti Jakarta. Demikian pula mereka yang tinggal di daerah yang dinyatakan zona merah di Jawa Barat, Jawa Timur, Jawa Tengah, dan daerah-derah di provinsi lainnya tidak boleh keluar dari daerah itu.
Meski adanya penutupan jalan namun disebut pemerintah tidak menutup jalan tol. Jalan tol hanya digunakan untuk pergerakan angkutan logistik, tenaga kesehatan, dan orang yang bergerak dalam jasa perbankan. Sebab aturan ini dikeluarkan oleh pemerintah pusat maka implimentasi yang diberlakukan bisa jadi ketat, wajib dipatuhi, dan diikuti oleh pemerintah provinsi dan kabupaten/kota serta masyarakat.
Aturan yang demikian tentu wajib disosialisasikan kepada masyarakat dan pemerintah provinsi serta kabupaten/kota agar mereka paham dan mengerti sehingga tahu apa yang mesti dilakukan. Jangan sampai masyarakat saat dihadang oleh petugas dan aparat di perbatasan-perbatasan zona merah mengatakan, "sumpah, saya belum mengerti aturan itu". Hal demikian biasa terungkap ketika aturan diterapkan dan mereka mencoba untuk bisa lolos dari aturan yang ada.
Aturan larangan mudik demi kebaikan semua tentu harus didukung oleh seluruh pihak. Untuk itu semua harus ikut mematuhi dan menjaga. Meski demikian ketika aturan ini sudah berjalan, bisa jadi masih ada orang-orang yang ingin mudik dengan berbagai macam cara dan siasat. Bagi mereka mudik adalah ritual yang seolah-olah tak bisa ditinggalkan sehingga mereka akan tetap melakukan mudik meski jelas-jelas tidak diperbolehkan.
Untuk itu perlu diawasi dari kemungkinan masih adanya pergerakan orang ketika angkutan umum dan pribadi tidak boleh keluar zona merah dan akses tol dibatasi hanya untuk angkutan-angkutan tertentu. Hal yang perlu diawasi adalah, pertama, larangan mudik menyebut tidak boleh adanya angkutan umum dan pribadi keluar dari zona merah.
Nah, bisa jadi mereka yang 'ngeyel' mudik akan menempuh dengan cara jalan kaki. Hal demikian pernah terjadi di India saat aturan lockdown diberlakukan. Demi mudik mereka rela jalan kaki hingga menempuh jarak 321 km. Jarak itu bisa jadi kisaran antara Surabaya dengan Jogjakarta. Jarak yang sangat jauh untuk jalan kaki.
Di sekujur Pulau Jawa banyak jalan menghubungkan antarwilayah, baik itu jalan negara, jalan provinsi, jalan kabupaten, jalan kota, hingga jalan desa. Mereka yang 'ngeyel' mudik akan melalui jalan-jalan yang lepas dari pemantauan. Bila perlu melalui jalan-jalan tikus, sebutan jalan yang bisa dilalui hanya oleh orang yang tahu dan tersembunyi. Bisa jadi mereka akan melewati hutan, pergunungan, jurang, dan daerah-daerah yang masih belum tersentuh oleh orang.
Kedua, bisa jadi mereka akan menggunakan kapal tradisional untuk mudik. Di pantai utara, sebut saja Jakarta, di sana banyak pelabuhan yang dikelola oleh pemerintah pusat, pemerintah provinsi, maupun yang berdampingan dengan pemukiman penduduk. Kalau kita amati di pelabuhan-pelabuhan itu banyak kapal kayu yang berukuran besar, sedang, dan kecil. Kapal-kapal kayu itu ada yang digunakan untuk mengangkut barang dan logistik antarpulau antarprovinsi, ada pula yang digunakan untuk mencari ikan baik jarak jauh atau sedang.