Lihat ke Halaman Asli

Ardi Winangun

TERVERIFIKASI

seorang wiraswasta

Jakarta Tetap Ramai Meski Bukan Ibu Kota

Diperbarui: 10 September 2019   14:56

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Pemerintahan. Sumber ilustrasi: FREEPIK/Freepik

Salah satu faktor dipindahkan ibu kota, menurut keterangan yang ada dikatakan bahwa Jakarta terlalu berat untuk menanggung beban segala aktivitas yang ada. Kota ini tak hanya menjadi pusat pemerintahan Indonesia namun juga berbagai macam aktivitas lainnya seperti ekonomi, perdagangan, olahraga, pendidikan, bahkan hiburan.

Sentralistik pemerintahan di masa Orde Baru membuat segala urusan harus diselesaikan di Jakarta. Akibat yang demikian orang hilir mudik dari berbagai daerah ke Jakarta untuk menyelesaikan urusan dan permasalahan yang ada. Sentralitik segala aktivitas membuat Jakarta memancing ribuan hingga jutaan orang ke kota ini. Urbanisasi ke kota ini sebenarnya terjadi sejak wilayah ini bernama Sunda Kelapa, kemudian Batavia, dan bertambah pesat ketika Indonesia merdeka.

Bermula dari Sunda Kelapa, Batavia, kemudian Jakarta, kota ini dibangun oleh pemerintahan yang ada secara berkesinambungan. Satu persatu pusat pemerintahan dan perumahan berdiri dari masa ke masa. Mulai dari pembangunan Pelabuhan Sunda Kelapa pada masa Pakuan, kemudian pembangunan kota oleh pemerintahan Belanda dengan wujud Istana Merdeka, kawasan Kota Tua, dan banyak lagi gedung-gedung yang dibangun Belanda untuk mendukung kolonialismenya hingga Jakarta saat ini yang sudah memiliki MRT dan LRT kayak di Singapura, Kuala Lumpur, dan Bangkok.

Ratusan tahun dibangun secara berkesinambungan, secara sentralistik, hingga saat ini membuat segala kebutuhan manusia ada di Jakarta. Fasilitas yang memberi layanan kebutuhan masyarakat ini menjadi permanent dan beroperasi hingga saat ini. Bahkan sarana untuk memberi layanan itu menjadi 'rujukan' bagi kota-kota (daerah) yang lain.

Ketika ada keinginan memindahkan ibu kota, ke Kalimantan Timur, di Kabupaten Kutai Kartanegara dan Penajam Paser Utara, ada kekhawatiran dan kegembiraan bagi warga Jakarta dan sekitarnya. Kekhawatiran sebab di kota ini adalah pusat perkantoran berbagai aktivitas, mulai dari ekonomi, perdagangan, hiburan, dan lain sebagainya. Bila kota dipindah pastinya ribuan bahkan jutaan orang akan bermigrasi ke kota baru. Akibatnya membuat aktivitas, di bidang ekonomi, misalnya, turun. Ketika aktivitas ini turun pastinya akan mempengaruhi kualitas kehidupan warga yang biasanya sudah mapan. 

Sedang di sisi kegembiraan, kepadatan lalu lintas dan perumahan yang selama ini mereka alami setiap hari akan menurun. Kesibukan sebagai pusat pemerintahan telah berpindah sehingga membuat aktivitas pergerakan manusia tidak lagi di Jakarta namun di tempat yang baru. Jalan yang biasa padat dan macet, akan terurai. Jl. Thamrin dan Jl. Sudirman yang tak pernah sepi akan menjadi lancar bahkan lengang.

Terlepas dari masalah pro dan kontra, kegembiraan serta kekhawatiran yang akan ditimbulkan bila Jakarta tidak lagi menjadi ibu kota, penulis mempunyai asumsi Jakarta akan tetap ramai dan tetap mengundang orang untuk berdatangan ke sini. Asumsi itu bisa dilihat, dari pertama, sejak jaman Batavia, kota ini sudah dijadikan pusat pembangunan. 

Dari segi pendidikan, misalnya, pada masa Batavia, kota ini memiliki STOVIA, sekolah kedokteran. Sebagai sekolah yang dibutuhkan dan paling bergensi pada masa itu, membuat orangtua-orangtua yang memiliki derajad tinggi di berbagai daerah mengirim anaknya ke Batavia untuk sekolah di STOVIA. Hadirnya anak-anak muda dari berbagai daerah itu bisa dibuktikan dari nama-nama komunitas mereka, seperti Jong Java, Jong Celebes, Jong Ambon, Jong Bataks, Jong Sumateranen Bond, dan komunitas asal usul lainnya.

Dari sini menunjukan pada masa lalu Jakarta telah mengundang orang dari berbagai daerah datang ke sini untuk sekolah. Dan sampai sekarang orang-orang tetap banyak ke Jakarta untuk melakukan hal yang sama. Bila pada masa lalu STOVIA yang menjadi incaran maka sekarang orang-orang daerah mengincar untuk bisa sekolah di Jakarta. Ada UI di Salemba dan UNJ. Meski IPB berada di Bogor, UIN Syarif Hidayatullah berada di Tangerang, dan pengembangan UI berada di Depok namun mau tak mau pintu masuknya dari Jakarta dan mereka setiap hari bersinggungan dengan kota Jakarta.

Hadirnya perguruan tinggi dan tempat pendidikan yang berkualitas di Jakarta dan di sekitarnya inilah yang membuat kota ini akan dibanjiri pendatang sehingga kota ini tetap akan berhiruk dengan jutaan civitas akademikanya.

Kedua, ketika Presiden Soekarno menyelenggarakan Asian Games tahun 1962 di Jakarta, otomatis membuat kota ini menjadi pusat pengembangan olahraga pada masanya. Sebagai pusat pengembangan olahraga, diteruskan oleh Presiden Soeharto dengan menjadikan kota ini berkali-kali menjadi tuan rumah PON, SEA Games, dan event olahraga yang terpusat, seperti pertandingan Tim Nas yang selalu digelar di Stadion Utama GBK. Akibatnya pembangunan sarana olahraga terus dilakukan dan berstandar internasional. 

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline