Lihat ke Halaman Asli

Ardi Winangun

TERVERIFIKASI

seorang wiraswasta

Pindah Partai Demi Jadi Wakil Rakyat

Diperbarui: 3 Agustus 2018   13:04

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Sumber: Kompasiana.com

Menjelang Pemilu Legislatif 2019, ada fenomena yang menarik dalam dunia politik. Fenomena itu adalah ramainya politisi melakukan migrasi dari satu partai ke partai yang lain. Hal demikian dialami oleh seluruh partai yang ada. Ada yang pindah ke partai lama, ada pula yang pindah ke partai baru.

Fenomena demikian dulu disebut sebagai politisi kutu loncat. Sebutan yang tak mengenakkan itu membuat tak banyak orang melakukan sebab dicap sebagai orang oportunis atau mencari enaknya saja sehingga jarang-jarang orang melakukan. 

Namun sebutan seperti itu sekarang sepertinya diabaikan oleh politisi. Banyaknya jumlah yang melakukan migrasi membuat masyarakat menjadi biasa sehingga sebutan kutu loncat tak lagi disebut-sebut.

Mengapa orang dengan mudah melakukan pindah partai dan dilakukan oleh banyak orang. Ada beberapa faktor yang menjadi penyebab. Pertama, adanya konflik di tubuh partai itu sehingga membuat tak nyaman bagi politisi. Politisi itu berpikir bila dirinya tetap bertahan di sana yang dirasa tak hanya membuat dirinya gerah namun juga mengancam masa depannya. 

Bila ia terlibat dalam konflik dan berada pada pihak yang kalah dalam proses peradilan, maka akan disingkirkan oleh kelompok yang menang. Bila demikian dalam proses pencalegan, ia tak akan mendapat tempat bahkan malah tak diproses pendaftarannya.

Daripada tak mendapat apa-apa di tempat yang lama, maka mereka lebih memilih keluar untuk mencari tempat yang bisa menampungnya. Fenomena demikian bisa kita lihat di tubuh PPP. 

Proses peradilan yang memenangkan PPP kubu Roharmurmusy, pastinya menenggalamkan kubu Djan Faridz. Banyak orang kubu Djan Faridz yang sekarang tak jelas hendak ke mana berpartai. Konflik yang terjadi antar Rommy dan Djan itulah yang bisa jadi membuat Lulung, politisi PPP Jakarta, pindah ke PAN.

Kedua, adanya iming-iming dari partai lain atau partai baru. Dalam masa yang semakin ketatnya proses pemilu legislatif membuat kompetisi yang terjadi semakin ketat. Mereka tak hanya dipusingkan semakin tingginya parlement threshold namun juga semakin membengkaknya biaya pemilu. 

Tingginya biaya pemilu ini rupanya dibaca oleh partai politik yang 'juragannya' kaya, bisa dari partai lama atau baru. Partai itu mengincar orang-orang yang potensial, entah karena kepopularitasannya, bintang DPR, atau punya pengalaman menjadi anggota DPR sehingga tahu medan massa di dapil. 

Orang-orang seperti ini dirayu atau diajak oleh partai politik, entah lama atau baru, untuk menjadi caleg-nya. Partai politik yang mengajak mereka tentu tak sekadar ajakan biasa namun selama proses mencari massa untuk Pemilu 2019, mereka dibiayai bahkan sampai jadi. 

Biaya yang disodorkan untuk membiayai caleg itu tentu tak sedikit. Pastinya dihitung rata-rata pengeluaran biaya politik secara nasional. Sebab biaya politik itu sangat tinggi maka bisa saja caleg itu mendapat gelontoran dana sampai Rp2 miliar.

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline