Lihat ke Halaman Asli

Ardi Winangun

TERVERIFIKASI

seorang wiraswasta

Menunggu Sosok Calon Presiden Baru

Diperbarui: 12 Oktober 2017   08:16

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Politik. Sumber ilustrasi: FREEPIK/Freepik

Ada yang mengejutkan dari survei yang dirilis oleh lembaga Media Survei Nasional (Median). Mengejutkan sebab dalam Pemilu Presiden (Pilpres) 2019, sebanyak 40 persen responden menginginkan adanya calon alternatif. Angka ini melebihi elektabilitas Presiden Joko Widodo yang mencapai 36,2 persen dan Prabowo Subianto sebesar 23,2 persen. Bila Pilpres 2019 dilaksanakan pada saat survei dilakukan, maka Pilpres tersebut akan menghasilkan calon alternatif sebagai pemenangnya, bukan Joko Widodo, bukan pula Prabowo Subianto.

Menjadi pertanyaan mengapa Joko Widodo yang disebut sebagai Presiden yang saat ini gencar melakukan pembangunan infrastrukur, elektabilitasnya kalah dengan keinginan masyarakat yang menginginkan adanya calon alternatif (bukan dirinya). Bukankah bila masyarakat disebut-sebut puas terhadap kinerja Joko Widodo maka elektabilitasnya akan tertinggi.

Dalam era Presiden Joko Widodo, harus kita akui pembangunan yang dilakukan sangat genjar. Infrastruktur jalan tol di Jawa, Sumatera, Kalimantan, dan pulau lainnya dikebut. Pembangunan di daerah perbatasan, Papua, dan daerah-daerah jauh yang dulunya tak tersentuh pembangunan, pun didorong sekuat tenaga. Sarana transportasi, khususnya kereta api pun juga dimodernisasi serta ditambah ruas rail-nya. Gencarnya pembangunan tersebut membuat akses perekonomian menggeliat dan koneksitas antardaerah menjadi terhubung dan lancar.

Meski pembangunan yang dilakukan itu massif namun kepuasan atau keinginan yang dimaui oleh masyarakat tidak hanya itu. Pembangunan yang diinginkan masyarakat tidak hanya soal fisik namun juga demokrasi, hukum, dan politik yang adil. Nah di sinilah yang bisa jadi belum disentuh oleh Joko Widodo. Pria yang pernah menjadi Wali Kota Solo itu bisa jadi terlau menderu-deru melakukan pembangunan fisik sehingga melupakan pembangunan yang lain.

Kalau kita amati, suasana demokrasi saat ini terlalu gaduh. Di media sosial, televisi, koran, dan media massa lainnya timbul berita saling silang, saling dukung, saling bantah bahkan saling caci maki. Hal demikian bisa terjadi akibat keterbelahan masyarakat selepas Pilpres 2014 dan Pilkada Jakarta 2017 masih terjadi. Akibat yang demikian membuat rakyat selalu berhadapan. Kondisi yang demikianlah yang selalu menimbulkan kegaduhan dalam politik hingga saat ini.

Dalam suasana yang demikian, seharusnya pemerintahan Joko Widodo segera mengambil jalan tengah untuk menjadi penghubung antara kedua kelompok itu. Jalan tengah ini juga bisa dilakukan dengan merangkul semua pihak dalam naungannya. Namun cara seperti itu tidak dilakukan oleh Joko Widodo. Pria yang pernah menjadi Gubernur Jakarta itu sepertinya lebih memikirkan kekuasaannya sehingga bila ada kelompok yang menentang  atau kritis kepada dirinya maka kelompok itu akan 'diamankan.' Joko Widodo sepertinya lebih suka menghadapi kelompok yang kritis dibanding keinginan untuk merangkulnya.

Bila kita amati langkah-langkah pengamanan kekuasaan saat ini adalah dengan cara membelah kekuatan lawan, mengkriminalisasikan, serta tak berbuat adil dalam politik dan demokrasinya. Kita ambil contoh, PPP yang awalnya sebagai kekuatan yang kritis kepada pemerintahan, akhirnya dibungkam dengan kebijakan yang mengkatung-katungkan nasibnya. Dualisme kepengurusan internal di partai dijadikan proses tarik ulur untuk tawar menawar dengan pemerintah. Bila mendukung kekuasaan maka kepengurusannya disahkan, demikian sebaliknya.

Ketika aksi-aksi menjelang Pilkada Jakarta, sangat kentara sekali bagaimana lambannya sikap pemerintah dalam menanggapi aksi massa itu sehingga masalah yang terjadi semakin lama semakin besar. Kegaduhan yang terjadi sepertinya semakin lama semakin banyaknya orang-orang yang kritis kepada kekuasaan dijadikan tersangka oleh aparat hukum. Masalah-masalah yang menimpa kepada orang yang kritis kepada pemerintah, selama ini tak pernah dituntaskan. Di sisi yang lain, sosok-sosok yang kritis itu, proses hukumnya sangat cepat ditetapkan.

Ketidakimbangan pembangunan fisik dan demokrasi, politik serta hukum inilah yang membuat masyarakat ingin mencari figur Presiden 2019 lain dari pada Pilpres 2014, bukan Joko Widodo, bukan Prabowo Subianto. Pesatnya pembangunan fisik namun tak dibarengi dengan pembangunan demokrasi, politik, dan hukum tetap saja membuat masyarakat tak nyaman. Masyarakat beranggapan bila kondisi yang demikian diteruskan, bisa jadi kegaduhan politik akan selalu terjadi selama kekuasaanya seperti itu.

Bila kegaduhan demokrasi, politik, dan hukum diselesaikan secara adil maka hal yang demikian mending atau lebih bagus namun masalahnya bila kegaduhan itu tidak diselesaikan sesuai dengan aturan maka hal yang demikian akan semakin membuat suasana menjadi lebih gaduh.

Untuk menghindari hal yang demikian, di mana rakyat ingin suasana demokrasi dan politik yang lebih nyaman, maka masyarakat memilih sosok lain, sosok yang kehadirannya tidak menimbulkan perlawanan dari kelompok yang lain dalam jumlah yang besar. Hal demikian juga dibuktikan dalam survei tersebut yang menyatakan bahwa sebanyak 63 persen tidak menginginkan Jokowi terpilih kembali dalam Pilpres 2019. Angka 63 persen tentunya sangat besar, separuh lebih rakyat Indonesia. Untuk itulah maka masyarakat menunggu sosok Presiden alternatif itu.

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline