Bila mendengar kata Ponorogo, biasanya akan didahului kata Reog. Reog selama ini melambungkan nama kabupaten yang berbatasan dengan Wonogiri, Jawa Tengah; dan beberapa kabupaten di Jawa Timur, seperti Trenggalek, Madiun, Magetan, Tulungagung, dan Pacitan.
Untuk menuju ke Ponorogo, transportasi umum yang bisa digunakan adalah jalur kereta api dan pesawat terbang. Bila naik kereta api stasiun terakhir adalah di Stasiun Madiun dan selanjutnya dilanjutkan dengan naik taxi, bus, atau ojek menuju ke Ponorogo sejauh 30 km. Bila naik pesawat terbang, maka bandar udara yang bisa dituju adalah Bandar Udara Djuanda di Sidoarjo, Jawa Timur; atau Bandar Udara Adi Soemarmo, Boyolali, Jawa Tengah. Dari dua bandar udara itu perjalanan selanjutnya dilanjutkan dengan naik bus. Semua tiket kereta dan pesawat itu semua bisa dibeli di www.tiket.com
Reog adalah kesenian rakyat asli Ponorogo. Sebagai kesenian yang unik, tak ada duanya, membuat Reog menjadi tontonan yang menarik banyak orang. Kesenian rakyat ini mampu menghimpun banyak orang sehingga sering dijadikan alat untuk memobilisasi massa.
Kesenian Reog tak hanya berkembang di Ponorogo namun juga menyebar ke sekujur nusantara bahkan Malaysia. Reog bisa menyebar ke sekujur nusantara karena dibawa oleh orang Ponorogo, Wonogiri, dan Pacitan, melakukan migrasi baik dibiayai oleh pemerintah maupun secara mandiri. Tak heran bila ada Festival Reog Nasional yang diselenggarakan setiap Grebeg Suro, Tahun Baru Islam, orang-orang Ponorogo atau keturunannya yang sudah menjadi penduduk sebuah daerah, misalnya Lampung, Balikpapan, Nusa Tenggara Barat, Surabaya, Sidoarjo, Batam, dan berbagai tempat lainnya, kembali ke Ponorogo dan membawa tim kesenian Reog untuk berlomba.
Kesohoran Reog sebagai sebuah kesenian membuat negeri jiran, Malaysia, mengklaim sebagai salah satu hasil cipta karsa yang dimilikinya. Kesenian itu bisa berkembang di negerinya Siti Nurhaliza bisa jadi banyak orang-orang Ponorogo yang menetap di sana, sejak puluhan tahun yang lalu, dan untuk menghilangkan rasa rindu kepada kampung halaman, mereka tetap berkesenian Reog.
Sebagai sebuah kabupaten yang berdiri pada 11 Agustus 1496, Ponorogo sejak dulu merupakan sebuah wilayah yang penting baik dalam bidang ekonomi maupun pendidikan Islam (pesantren). Kabupaten yang berjarak 200 km arah barat daya ibu kota Provinsi Jawa Timur, Surabaya, ini dulu ada sebuah pesantren besar, namanya Pesantren Tegalsari, Abad XVIII hingga XIX. Pesantren yang terletak di Desa Tegalsari, Kecamatan Jetis, itu pernah menjadi tempat nyantri Pakubuwono II, sastrawan jawa Ronggowarsito, dan guru para pendiri bangsa Haji Umar Said Cokroaminoto.
Saat penulis mengunjungi Tegalsari, tempat itu dijadikan cagar budaya oleh pemerintah dan masih ada peninggalan yang menunjukan kebesaran pesantren itu seperti masjid dengan arsitektur gaya Masjid Demak, ada payung yang terbuat dari kayu yang berumur 200 tahun lebih, serta ada bangunan mirip langgar tempat Ronggowarsito biasa melakukan tirakatan.
Entah kenapa, Tegalsari sebagai tempat nyantrinya orang-orang hebat itu akhirnya hanya menjadi tinggal kenangan dan sepertinya hanya menjadi sebatas cerita di tempat itu Ronggowarsito pernah menuntut ilmu. Meski kebesaran pesantren yang didirikan oleh Kyai Agen Hasan Besari sudah tak seperti dulu, Ponorogo masih mempunyai puluhan pesantren bahkan menjadi mercusuar bagi pesantren di Indonesia. Di antara puluhan pesantren itu adalah Pondok Pesantren Gontor. Gontor yang melahirkan tokoh masyarakat, pemimpin ormas Islam, dan cendikiawan Muslim ini berdiri pada tahun 1926. Seperti Reog yang menyebar ke mana-mana, Gontor yang melahirkan alumni seperti Nucholish Majid, Lukman Hakim Saifuddin, Din Syamsuddin, Hasyim Muzadi, Yudhi Latif, dan novelis Negeri 5 Menara, Ahmad Fuadi; itu juga datang dari mana-mana bahkan dari Malaysia, Brunai, dan Thailand (selatan).
Sebagai tempat pendidikan Islam modern, Gontor diminati banyak para orangtua untuk menyekolahkan anaknya di sini. Untuk menampung ribuan peminat maka penerus pendiri Gontor mengembangkan sekolah ini di berbagai tempat seperti di Matingan, Ngawi, Jawa Timur; Aceh, dan Sulawesi.
Bagi Belanda, Ponorogo merupakan sebuah tempat untuk dijadikan ladang-ladang perkebunan tebu. Tak heran bila negerinya Robie Van Persie itu membangun jaringan rel kereta api hingga membelah Ponorogo dari ujung ke ujung. Jalur pertama melintasi Kecamatan Ponorogo-Kecamatan Siman-Kecamatan Mlarak-Kecamatan Jetis-Kecamatan Balong, dan Kecamatan Slahung. Jalur kedua, melintasi Kecamatan Ponorogo-Kecamatan Kauman-Kecamatan Somoroto, dan Kecamatan Badegan. Kereta api yang beroperasi di jalur ini pada masa itu sejenis dengan kereta wisata Jaladara di Solo, buatan Jerman tahun 1800-an.
Dengan jalur-jalur itu, kereta api yang berbahan bakar kayu itu selain mengangkut penumpang juga mengangkut hasil-hasil perkebunan terutama tebu. Sayangnya jalur rel kereta api itu sekarang tidak berfungsi alias dimatikan. Jalur pertama tidak digunakan sejak tahun 1980-an. Sedang jalur kedua, lebih lama lagi, pada masa pendudukan Jepang, rel yang ada dibongkar untuk keperluan negeri sakura itu itu kepentingan peperangan. Kita tidak tahu alasan apa pemerintah menutup jalur yang potensial itu.