Dengan ditetapkannya Ketua Umum Golkar Setya Novanto sebagai tersangka dalam kasus e-KTP oleh KPK membuat partai berlambang pohon beringin itu akan lepas dari berbagai sandera yang selama ini membelitnya. Dugaan-dugaan korupsi yang sebelumnya menimpa Setya Novanto membuat ia sebagai Ketua Umum Golkar maupun Golkar sendiri menjadi tidak bebas ketika melakukan aktivitas politik terutama ketika mengkritisi pemerintah.
Dugaan-dugaan korupsi yang sebelumnya menimpa Setya Novanto membuat Golkar dalam situasi yang tidak menguntungkan, tidak membela rakyat bahkan sebagai partai yang besar, Golkar malah secara terang-terangan mendukung pemerintahan secara membabi buta. Akibat yang demikian membuat Golkar kehilangan jati dirinya.
Sebagai Ketua Umum Golkar tentu Setya Novanto berhak untuk mengatur kemudi partainya. Sebagai manusia ia juga memiliki kepentingan pribadi terhadap partai yang dipimpinnya. Kepentingan pribadi itu rupanya lebih besar daripada kepentingan partai apalagi bangsa dan negara. Nah kepentingan pribadi inilah yang digunakan Setya Novanto untuk mendekati pemerintahan sekarang. Mendekatnya Setya Novanto kepada kekuasaan bukan karena partainya meminta jabatan kursi di kabinet namun bagaimana masalah-masalah yang menimpa pada dirinya 'bisa diselesaikan.'
Seakan-akan ada barter politik antara Setya Novanto dengan kekuasaan sekarang sehingga seluruh kebijakan yang dikeluarkan oleh pemerintahan saat ini langsung didukung dan diamini oleh Golkar, padahal yang demikian bisa merugikan Golkar sendiri. Lihat saja keputusan Golkar mendukung Jokowi dalam Pemilu Presiden Tahun 2019 itu sebagai keputusan yang sangat lucu. Sebagai partai besar tentu Golkar dalam Pemilu 2019 mempunyai kans menang. Sebagai partai besar tentu ia mempunyai peluang sendiri untuk memajukan kadernya sebagai Presiden. Dari Pemilu Presiden 2004 dan 2009, Golkar mempunyai calon sendiri dalam soal Presiden. Nah mengapa potensi besar ini tidak digunakan? Jawaban yang muncul adalah seperti paparan di atas, ada barter kepentingan dengan tujuan masalah yang menimpa Setya Novanto bisa diselesaikan.
Kita apresiasi KPK yang tidak terpengaruh langkah-langkah politik antara Setya Novanto dengan kekuasaan. Langkah KPK tersebut selain menunjukan independensi lembaga antirasuah itu, juga menguntungkan Golkar sendiri. Dengan dijadikan sebagai tersangka, tentu di tubuh partai berlambang pohon beringin itu akan ada dinamika. Dinamika yang muncul pastinya adalah soal siapa penggantu Setya Novanto. Sebagai partai yang di dalamnya terhimpun orang-orang yang sudah berpengalaman dalam berorganisasi, tentu kader-kader partai itu akan memilih sosok Golkar sejati dan terbebas dari masalah-masalah yang ada terutama soal korupsi.
Peralihan yang terjadi di posisi pimpinan Golkar itu tentu akan memberi harapan baru bagi masa depan bangsa, negara, dan demokrasi. Ketika pengganti ketua umum terbebas dari beragam masalah, maka Golkar akan lebih lincah dalam melakukan manuver politiknya. Ia bisa bergerak ke kanan, kiri, atas, dan bawah tanpa takut dikriminalisasi. Beda dengan ketika ketua umumnya terduga beragam masalah korupsi. Lihat saja gerak Setya Novanto, sebagai partai yang besar tentu Golkar menaungi banyak kalangan namun selama ini seolah-olah Golkar enggan berhubungan dengan ummat Islam padahal penyokong partai itu mayoritas juga ummat Islam dan di dalam partai banyak aktivis organisasi Islam semacam HMI.
Peralihan yang terjadi di tubuh Golkar itulah yang akan mengembalikan Golkar sebagai partai yang mandiri, mau dan mampu menentukan langkah-langkah sendiri tanpa didikte dan ditekan pihak lain serta memperjuangkan masa lalunya yang disebut lebih enak daripada jaman sekarang, enak jamanku to.
Dengan demikian peralihan tersebut membuat dinamika politik menjelang 2019 bisa berubah total bila di Golkar benar-benar terpilih ketua umum yang terbebas dari masalah yang ada.
Dinamika yang terjadi adalah bisa mengubah dukungan terhadap sosok Presiden di tahun 2019. Meski Sekretaris Jenderal Golkar Idrus Marham mengatakan partainya akan tetap mendukung pemerintahan Jokowi hingga 2019 dan mendukung mantan Walikota Solo itu dalam Pemilu Presiden 2019 namun dalam berpolitik omongan itu bisa berubah sesuai dengan arah angin. Bila ini terjadi maka akan berimbas dalam soal keputusan ambang batas pencalonan presiden (presidential threshold). Selama ini sebab Golkar mendekat kekuasaan maka ia bersama dengan PDIP, Nasdem, dan Hanura mendukung presidential threshold sebesar 20-25 persen. Langkah Golkar mendukung ambang batas sebesar itu bukan untuk kepentingan partainya namun untuk kepentingan Jokowi.
Dinamika lain yang terjadi adalah, Golkar akan kembali mendekati ummat Islam. Semenjak Pilkada Jakarta 2017, partai ini menjauh dari ummat Islam. Bila Golkar tidak kembali mendekati ummat Islam, itu akan merugikan dirinya sendiri sebab massa yang berada dalam kekuasaan saat ini, di mana Golkar berada dalam kekuasaan itu, itu adalah massa dan loyalis PDIP. Tentu partai kuning ini tak mudah merebut massa partai merah. Untuk itu pasti akan ada perubahan pendekatan massa dari Golkar pasca pergantian pimpinan.
Pergantian pimpinan inilah yang akan menjadikan Golkar lebih bebas bergerak, tak tersandera oleh tekanan dan ancaman kriminalisasi.