Entah target kemenangan dalam Pilkada serentak tahun 2017 yang diinginkan kurang terpenuhi, PDIP dengan tergopoh-gopoh segera melakukan evaluasi kinerja pemenangan Pilkada. Dari 101 Pilkada serentak yang digelar tahun ini, partai berlambang banteng moncong putih mengaku memenangi di 54 daerah. Kemenangan PDIP di daerah sebanyak itu, pastinya ia tidak sendiri, ia berkoalisi dengan partai lain.
PDIP melakukan evaluasi hasil Pilkada sebab daerah yang dianggap menjadi jangkar atau daerah penting, ia mengalami kekalahan, seperti di Provinsi Banten dan Kota Jogjakarta. Sedang di Jakarta masih harus menunggu putaran kedua. Dari evaluasi yang dilakukan, ke depannya pasti PDIP akan berjuang mati-matian menyelamatkan sisa Pilkada yang ada agar jagonya menang.
Sebagai partai yang saat ini berkuasa, tentu PDIP ingin mendulang kemenangan Pilkada sebanyak-banyaknya. Dengan banyaknya kemenangan maka capaian itu bisa menjadi indikator bagi PDIP untuk mengusung calon presiden dalam Pemilu Presiden 2019. Bila kemenangan yang dicapai dalam Pilkada 2017 jeblok maka partai itu harus segera mengevaluasi tidak hanya kinerja organisasi namun juga pemerintahan Presiden Joko Widodo. Mencapai banyak kemenangan dalam Pilkada serentak tahun ini bukan hanya target PDIP namun juga partai-partai besar lainnya, seperti Partai Golkar dan Partai Gerindra. Dari Pilkada ini, seluruh partai menjadikan hasil yang ada untuk menyongsong Pilpres 2019.
Mengapa PDIP begitu tergopoh-gopoh melakukan evaluasi Pilkada meski hajatan demokrasi itu baru beberapa hari selesai? Apakah evaluasi itu lebih ditekankan untuk mempersiapkan babak II di Jakarta ataukah partai itu mengalami banyak kekalahan, hanya separuh dari keseluruhan Pilkada yang diakui menang, sehingga dalam forum itu Ketua Umum PDIP Megawati ‘memarahi’ jajarannya atas kekalahan yang dialami.
PDIP meski sebagai partai yang memegang kekuasaan, yang memegang birokrasi, namun dalam Pilkada tahun ini ia tersenyok-senyok. Ada beberapa alasan yang menyebabkan PDIP mengalami banyak kekalahan di Pilkada 2017. Hal yang menyebabkan kekalahan tersebut adalah, pertama, sebagai partai yang berkuasa ternyata kekuasaan yang dipangku PDIP belum bisa memberi harapan dari masyarakat. Janji-janji yang selama ini didengungkan oleh Joko Widodo meski ada yang terealisasi namun masih banyak yang belum dibuktikan.
Dulu mantan Walikota Solo itu begitu mudahnya mengatakan mengatasi banjir dan kemacetan di Jakarta tidak sulit-sulit amat bila dirinya menjadi Presiden namun realitanya sampai saat ini Jakarta masih macet dan mengalami banjir. Dan masih banyak ungkapan yang sepertinya memudahkan pembangunan namun realitanya bangsa ini masih belum sesuai dengan yang diinginkan oleh masyarakat.
Kedua, Pilpres 2014 yang telah berlangsung dengan akibat memecah bangsa ini menjadi dua kutub, perpecahan itu rupanya masih terbawa hingga saat ini. Kutub kedua, kubu yang kalah dalam Pilpres 2014, bersama dengan kelompok masyarakat yang lain menumpahkan kekesalan dan kekecewaan pada PDIP dan Presiden Joko Widodo dengan tidak memilih calon yang diusung oleh PDIP. Jumlah pemilih yang masih loyal pada Prabowo ditambah dengan masyarakat yang kecewa pada penguasa saat ini, melimpah, bisa jadi separuh lebih dari jumlah pemilih sah saat ini. Suara yang tersebar di berbagai daerah itulah yang bisa menumbangkan calon-calon yang diusung oleh PDIP.
Ketiga, perilaku Gubernur Jakarta Basuki Tjahaya Purnama atau yang lebih popular disebut Ahok, juga sangat berpengaruh pada PDIP. Sebagaimana diketahui, Ahok yang dituduh melakukan penistaan agama apa yang dilakukan itu menjadi isu nasional. Sebagai masalah agama maka apa dikatakan itu menyinggung mayoritas ummat Islam, tidak hanya di Jakarta namun di seluruh pelosok nusantara. Ketika banyak ummat Islam yang kecewa pada Ahok maka mereka ramai-ramai melakukan aksi meminta Ahok dipenjara. Kekecewaan itu tidak hanya ditumpahkan dalam aksi yang digelar secara berkala namun juga dilampiaskan dengan tidak memilih calon yang diusung oleh PDIP.
Keempat, dukungan dan pembelaan PDIP kepada Ahok dalam kasus penistaan agama, rupanya berdampak buruk bagi partai ini. Perang hoax di media sosial yang menyudutkan PDIP seperti disebut sebagai komunis rupanya mempengaruhi pikiran masyarakat. Bukti masyarakat terpengaruh dari isu yang bersliweran itu sampai-sampai PDIP membantah bahwa partainya bukan seperti yang dituduhkan.
Kerisauan tuduhan ini juga diteruskan oleh cabang-cabang di bawahnya. PDIP Tangerang, di mana di Provinsi Banten juga dilaksanakan Pilkada di mana PDIP mengusung incumbent Rano Karno, menyebut isu komunis merupakan alat propaganda politik. Isu itu dikatakan bisa membelah masyarakat dan disebut tidak bertanggungjawab. PDIP Tangerang menegaskan tidak ada komunis di tubuh partainya.
Bila PDIP hendak mendulang suara yang lebih banyak dalam pemilu yang akan datang maka partai ini harus mengubah gaya politiknya. PDIP harus akomodatif terhadap aspirasi yang berkembang di masyarakat. Selain ia harus menjaga pemilih loyalisnya, PDIP harus mau merangkul kelompok yang lain. Selain tidak aspiratif terhadap kadernya, di mana ketika kadernya menolak Ahok sebagai calon gubernur, PDIP malah mendukungnya; PDIP juga seolah-olah alergi dan memusuhi kelompok-kelompok ormas Islam padahal mayoritas pemilih PDIP juga dari kalangan Islam. Tak aspirasinya kepada anggota dan memusuhi pihak lain inilah yang membuat PDIP jeblok dalam Pilkada serentak tahun 2017.