Menjelang Pilkada Jakarta 2017, masing-masing tim sukses menyiapkan segala strategi untuk memenangi perebutan jabatan gubernur dan wakilnya itu. Mereka pastinya sudah mempersiapkan perangkat keras dan lunak saat melaksanakan misinya.
Sebagaimana kita ketahui, tim sukses Ahok-Djarot mengangkat Sophia Latjuba sebagai juru bicara. Kehadiran Sophia Latjuba tentu bagian dari strategi tim sukses petahana untuk menggaet pemilik. Dengan wajah Indo-Jerman yang enak dipandang, kehadiran perempuan itu diharapkan oleh Tim Sukses Ahok-Djarot untuk bisa mendinginkan amarah Ahok sehingga suasana tetap adem bahkan menarik masyarakat untuk tetap bertahan pada Ahok-Djarot. Sepertinya juru bicara Ahok-Djarot akan bertambah dengan kehadiran Maia Estianty sebab Ahok sendiri cenderung memilih mantan istri Ahmad Dhani itu.
Pengangkatan perempuan yang pernah menjalin hubungan dengan Ariel itu rupanya memancing tim sukses lainnya untuk mengangkat artis menjadi vote getter. Disebut tim sukses Anis-Uno akan mendapuk Anang Hermansyah menjadi salah satu tim sukses. Pun demikian Tim Agus-Sylviana akan memberdayakan Annisa Pohan sebagai bagian dari tim pemenangan pasangan ini.
Hadirnya para artis dalam Pilkada ini akan membuat Pilkada Jakarta menjadi perang artis yang memiliki wajah yang menyejukkan, menghanyutkan, dan menghipnotis massa. Perang wajah yang dimaksud adalah calon gubernur, wakil, dan tim suksesnya mempunyai wajah ganteng atau cantik dan mereka diterjunkan ke tengah masyarakat. Bahkan ada salah satu pasangan calon adalah mantan None Jakarta.
Sebagaimana diketahui tampilan seseorang sangat berpengaruh sebagai pendulang suara. Tak heran dalam Pemilu Legislatif, calon wakil rakyat memiliki tampilan seger, relatif bisa memenangi. Di sini pemilih mencoblos mereka bukan karena kualitas namun karena faktor kegantengan atau kecantikan.
Adanya kegantengan inilah yang dirisaukan oleh Megawati saat Pemilu Presiden pada tahun 2009. Rivalnya, Susilo Bambang Yudhoyono yang dirasa ganteng oleh ibu-ibu, menjadi ketakutan Megawati sehingga dirinya mengatakan yang intinya, mengapa ibu-ibu memilih yang ganteng kalau yang cantik ada. Kegantengan sebagai faktor penentu ini pernah dikemukakan oleh indonesianis William Lidle bahwa kemenangan Susilo Bambang Yudhoyono karena faktor itu.
Ketika Agus Harimurti Yudhoyono maju dalam Pilkada Jakarta, maka selitingan-selintingan Agus yang memilih wajah yang ganteng dan gagah langsung menyeruak. Kaum perempuan sepertinya sudah ancang-ancang memilihnya karena faktor tersebut. Bagi pemilih di Indonesia, faktor keahlian dan kapasitas seseorang masih dinomorduakan.
Agus Harimurti pasti tahu bahwa kemenangan ayahnya dalam Pemilu Presiden salah satu faktornya adalah kegantengan. Untuk itu sepertinya tim sukses ini juga akan mendorong strategi menjual kegantengan.
Bagaimana masyarakat menyiasati perang wajah di Pilkada Jakarta yang melibatkan orang-orang ganteng dan cantik itu? Pertama, masyarakat harus tetap fokus pada tujuan Pilkada. Pilkada adalah sarana untuk memilih kepala daerah yang bisa memperbaiki daerah. Untuk itu diharapkan masyarakat tidak terjebak pada pernak-pernik kampanye seperti janji gombal, money politic, dan faktor kegantengan dan atau kecantikan. Masyarakat harus didorong memilih pada calon dan wakil gubernur yang memiliki visi yang jelas dan manusiawi. Memang syukur kalau calon yang memiliki visi dan misi yang jelas itu mempunyai wajah ganteng atau cantik.
Kedua, mengangkat juru bicara dengan modal hanya cantik atau ganteng tanpa memperhitungkan kapasitas komunikasi politik yang baik itu akan sangat berbahaya. Sebagaimana kita ketahui, Sophia Latjuba selama ini adalah sosok artis jauh dari hiruk pikuk dunia politik. Dalam Pilkada yang sangat seru dan panas ini tentu dibutuhkan orang yang pandai bersilat lidah atau ngeless dalam berkata-kata. Untuk itu di sini perlunya orang itu menguasai masalah politik dan pembangunan yang terjadi di Jakarta. Bila tidak menguasai masalah, ia bisa melakukan kesalahan dalam memberi keterangan atau tidak mampu memberi jawaban. Kesalahan yang dilakukan akan membuat pasangan yang didukung menjadi negatif. Menjadi pertanyaan, mampukah Sophia Latjuba dan artis lainnya bisa memberi keterangan yang bernas?
Ketiga,dalam Pilkada Jakarta ini merupakan Pilkada yang seru dan panas sehingga dibutuhkan militansi untuk berjuang memenangkan. Militansi ini tidak bisa dibeli dengan harga berapapun. Lain halnya bila dalam Pilkada seseorang melakukan kegiatan karena faktor proffesional karena uang. Orang seperti ini bergerak karena didasarkan atas pekerjaan yang telah disepakati dan memiliki waktu jam kerja. Bila pekerjaan dalam politik hanya berdasarkan pragmatisme maka dalam melakukan aktivitasnya ia tidak maksimal dan tidak keluar dari hati nurani. Dalam dunia politik itu perlu memiliki militansi dan ideologi.