Lihat ke Halaman Asli

Ardi Winangun

TERVERIFIKASI

seorang wiraswasta

Golkar Mencari Jalan Kuasa

Diperbarui: 9 Agustus 2016   09:42

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Politik. Sumber ilustrasi: FREEPIK/Freepik

Meski Pemilu Presiden (Pilpres) 2019 masih 2,5 tahunan lagi dan partai-partai politik belum disibukkan dengan masalah itu namun Partai Golkar dalam penutupan Rampinas 2016 di akhir Juli, sudah menyatakan dukungan kepada Presiden Joko Widodo sebagai capres. Bagi Golkar apa yang dilakukan itu diharapkan bisa diikuti oleh partai yang lain namun apa yang dilakukan oleh partai berlambang pohon beringin tersebut dianggap oleh banyak orang sebagai langkah yang tergesa-gesa. Pilkada tahun 2017 saja belum terlihat hasilnya.

Dukungan Golkar ke Joko Widodo merupakan babak baru hubungan Golkar dengan pria asal Solo, Jawa Tengah, itu. Sejak partai bercorak warna kuning itu dipegang oleh Setya Novanto, arah Partai Golkar berubah. Semasa Golkar berada di bawah pimpinan Aburizal Bakrie, partai itu sebagai oposisi, kritis pada kekuasaan, dan enggan masuk kabinet. Hal demikian bisa terjadi karena Golkar bersama Gerindra, PKS, PPP, mendeklarasikan diri sebagai koalisi di luar kekuasaan, Koalisi Merah Putih (KMP). Koalisi ini sebelumnya mendukung Prabowo-Hatta dalam Pilpres 2014, rival kuat pasangan Joko Widodo-Jusuf Kalla.

Setelah Golkar tidak lagi di bawah kendali Aburizal Bakrie, entah karena dituntun Menko Martitim Luhut Binsar Panjaitan atau karena kemauan Setya Novanto sendiri, partai itu merapat kepada pemerintah. Mahar pertama kepada Golkar dari Joko Widodo adalah memberikan satu kursi kepada Golkar. Memberikan satu kursi pada Golkar bisa jadi agar di dalam Kabinet Kerja itu tidak terjadi kegaduhan politik yang luar biasa. Kehadiran Golkar di dalam kekuasaan Joko Widodo sebenarnya lebih berarti daripada dukungan PKB, Nasdem, dan Hanura. Dukungan awal kepada Joko Widodo sejak awallah yang membuat ketiga partai itu masih dipertahankan dalam kabinet itu.

Golkar mendukung Joko Widodo pastinya bukan hanya karena mendapat jatah kursi dalam kabinet dan atau kesepakatan Setya Novanto dengan Joko Widodo lainnya, namun Golkar juga melihat potensi-potensi yang masih ada pada pria yang pernah menjadi Gubernur Jakarta itu. Dengan mengacu pada sebuah survei, terlihat Joko Widodo masih memiliki elektabilitas dan popularitas yang tinggi dan belum ada sosok lain yang menandingi. Prabowo yang dulu surveinya tinggi, saat ini tak bisa mempertahankan elektabilitasnya, maka survei menunjukkan elektabilitas Prabowo melorot jauh.   

Sejak tahun 1999, Golkar selepas Presiden B. J. Habibie, tidak pernah berada dalam kekuasaan, tidak ada lagi Presiden dari Golkar. Bayangkan selama Orde Baru, Presiden adalah Golkar. Meski pada masa Jusuf Kalla sebagai Wakil Presiden pada tahun 2004-2009 namun kekuasaan yang dimiliki tidak maksimal. Jabatan Wakil Presiden dari kader Golkar itu belum mampu membuat partai itu bangga dan leluasa mengendalikan kekuasaan.

Meski Golkar dalam beberapa kali menjadi pemenang Pemilu Legislatif namun kemenangan itu sepertinya tidak mempunyai dampak yang menguntungkan secara organisasi. Setiap Pilpres, calon yang diusung oleh partai itu, baik Wiranto dalam Pilpres 2004 dan Jusuf Kalla dalam Pilpres 2009, kesemuanya gagal alias tidak menang. Tak adanya kader Golkar yang memenangi Pilres atau menjadi Presiden inilah yang bisa menjadi kegundahan partai itu saat ini. Untuk itu Golkar mencari sosok yang dianggap bisa membuat Golkar menang baik dalam Pileg maupun Pilpres.

Sebagaimana ditulis di atas bahwa Pilpres masih lama namun apakah dukungan Golkar bisa berubah? Politik adalah sesuatu yang dinamis, ia tidak kaku, dan selalu mencari peluang-peluang baru yang bisa membuat untung dan menang dalam meraih kekuasaan. Dukungan kepada Joko Widodo saat ini, bisa jadi dikarenakan seperti paparan di atas, selain karena ia Presiden yang punya kuasa, pria itu juga masih memiliki elektabilitas dan popularitas yang tinggi.

Secara jangka pendek dukungan Golkar kepada Joko Widodo bersifat mutualisme pragmatis. Dukungan itu akan menguntungkan kedua belah pihak. Masuknya Golkar sebagai pendukung Joko Widodo akan membuat ia mempunyai bargaining yang lebih kuat di DPR maupun di hadapan Megawati. Bila sebelumnya PDIP yang mengendalikan Joko Widodo maka dengan hadirnya Golkar akan terjadi bargaining-bargaining baru sehingga Joko Widodo bisa membuat kebijakan tanpa tekanan dari salah satu pihak.

Bagi Golkar sendiri, mendukung Joko Widodo akan membuat partai itu menjadi lebih mudah ketika harus berhadapan dengan eksekutif. Fasilitas-fasilitas pemerintahan pastinya akan bisa dinikmati oleh Golkar dan elitnya.

Namun seperti paparan di atas, bahwa politik itu dinamis dan bisa berubah sesuai kepentingan. Bila elektabilitas dan popularitas Jokowi turun, entah karena ia gagal dalam sisa waktu kekuasaan, atau ada sosok baru yang mempunyai potensi besar dalam Pilpres, maka dukungan yang diberikan kepada Joko Widodo akan dicabut dan dialihkan kepada sosok yang baru.

Tak adanya lagi Presiden dari Golkar sejak tahun 1999 membuat partai itu mencari terus sosok yang bisa membuka jalan kuasa bagi Golkar. Siapapun itu orangnya akan didukung, saat ini masih Joko Widodo namun bila ada yang lebih bagus dan memiliki elektabilitas dan popularitas yang bisa mengalahkan Joko Widodo maka sosok baru itulah yang akan didukung. Golkar dan semua partai politik pasti akan paham, berubah dukungan itu hal yang biasa, tak ada kesetiaan dalam koalisi. Jadi jangan heran bila tiba-tiba dukungan Joko Widodo dicabut.




BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline