Lihat ke Halaman Asli

Ardi Winangun

TERVERIFIKASI

seorang wiraswasta

Prostitusi Elit dan Ketimpangan Sosial

Diperbarui: 17 Juni 2015   06:53

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Sosbud. Sumber ilustrasi: KOMPAS.com/Pesona Indonesia

Banyak orang melongo saat mendengar ada seorang perempuan yang melacurkan diri dengan harga kisaran antara Rp80 juta hingga Rp200 juta. Banyak orang melongo sebab dengan pekerjaan yang ditanggung hanya beberapa jam, serta pekerjaan itu terbilang sangat gampang, ia bisa meraup uang yang sedemikian banyaknya.

Bandingkan dengan gaji buruk pabrik yang di berada Karawang, Bekasi, Tambun, Depok, yang setiap May Day pasti turun ke jalan untuk menuntut naiknya upah. Tentu gaji buruh pabrik itu tak seberapanya, apalagi mereka memperolehnya hanya tiap bulan dan pekerjaan yang dilakukan demikian lama dan menjenuhkan, dari senin sampai sabtu, dari pagi sampai sore bahkan sampai malam.

Bandingkan juga dengan upah pekerja seks komersial (PSK) yang tiap hari mangkal di pinggir Kali Manggarai atau pinggir rel kereta api Jatinegara, Jakarta, tentu harganya sangat jauh. PSK yang berada di pinggir Kali Manggarai dan pinggir rel Jatinegara tarifnya sekitar Rp100 ribu hingga Rp 150 ribu sekali short time. Untuk mendapat Rp80 juta, berapa kali PSK murahan itu harus melayani orang? Dan pekerjaan itu tak hanya mengandung resiko penyakit kelamin sebab orang silih berganti memakainya dengan status rendahan, juga mereka sering diburu Satpol PP dan dipalak preman.

Tingginya harga prostitusi kelas elit Rp80 juta hingga Rp200 juta bisa jadi wajar sebab mereka bukan perempuan sembarangan. Mereka adalah perempuan terdidik, cantik, memiliki kulit putih/kuning, rambut lurus terurai panjang, body sempurna, mempunyai pekerjaan yang terpandang seperti model dan DJ. Bila kita melihat foto, gambar, atau bertemu langsung, mulut kita pasti akan mengatakan, cantiknya dia.

Tubuh yang demikian tentu memerlukan perawatan yang tak murah, biaya ke salon tiap bulan jutaan bahkan puluhan juta. Tak heran bila tak sembarangan orang bisa menjamahnya. Untuk menjamahnya, tentu harus melakukan itung-itungan atas biaya perawatan yang dikeluarkan, biaya yang sebanding dengan sekali kontrak menjadi foto model, dan biaya pelayanan. Komponen yang demikianlah yang membuat harga prostitusi elit itu demikian tingginya.

Syarat untuk bisa memakai jasa prostitusi elit, juga dengan syarat yang tak mudah. Prostitusi elit harus menggunakan fasilitas hotel bintang empat. Prostitusi elit pastinya tidak mau main di hotel kelas melati, kos-kosan, apalagi gubuk model di pinggir Kali Manggarai atau pinggir rel kereta api Jatinegara. Untuk sewa hotel bintang empat tentu biaya yang dikeluarkan sudah sampai Rp1 juta lebih.

PSK yang berada di pinggir Kali Manggarai dan pinggir rel kereta api Jatinegara, harganya murah sebab biaya yang dikeluarkan untuk dirinya paling hanya bedak yang harganya cuma Rp10 ribuan.

Tingginya harga prostitusi elit itu menyebabkan tak setiap orang bisa membelinya. Hanya jutawan, apakah itu pengusaha atau pejabat negara, yang bisa mem-booking-nya. Mereka bisa dengan mudah bisa memesan prostitusi elit, sebab uang yang dipegang miliaran rupiah sehingga harga Rp80 juta terbilang sangat kecil.

Banyaknya pesanan kepada prostitusi elit menunjukkan bahwa kita mengalami ketimpangan kekayaan yang demikian dalamnya. Di satu sisi, orang dengan mudah menghambur-hamburkan uang puluhan juta hanya untuk sejam, dua jam, di sisi yang lain banyak orang untuk mengumpulkan uang Rp1 juta rupiah saja memerlukan waktu 1 bulan.

Uang Rp80 juta itu di masyarakat bukan uang recehan. Uang itu bisa dijadikan modal usaha, membeli rumah di kampung, bisa digunakan naik haji, untuk membiayai pendidikan, hingga kebutuhan-kebutuhan lain yang mendasar, penting, dan jangka panjang. Bila masyarakat bawah menggunakan otak yang rasional, apabila disuruh memilih Rp80 juta untuk menyalurkan syahwatnya atau untuk menopang kebutuhan hidupnya, maka masyarakat akan memilih uang itu untuk menopang kebutuhan hidupnya.

Ketimpangan pendapatan itu bisa terjadi karena adanya akses untuk memperoleh pendapatan yang tak adil, tertutup, dan hanya dikuasai salah satu golongan. Akibat yang demikian maka ada orang yang dengan mudah memperoleh uang yang begitu cepat dan melimpah, namun ada pula orang yang demikian susahnya untuk mendapatkan selembar uang.

Ketimpangan dalam memperoleh uang ini merupakan belum berjalannya transparansi, keterbukaan, dalam transaksi keuangan di negeri ini. Meski banyak peraturan yang menekankan pentingnya transparansi dalam setiap kebijakan namun orang semakin pandai untuk mengakali proses-proses itu. Meski banyak orang sudah tertangkap tangan olek KPK, polisi, dan kejaksaan karena melakukan korupsi namun tindakan itu tak membuat masyarakat takut melakukan korupsi. Mereka masih beranggapan dengan cara seperti itulah maka uang bisa diraup demikian cepat dan mudah.

Korupsi membuat ketimpangan antar kelompok yang begitu dalamnya. Korupsi yang demikian membuat cara belanja masyarakat sangat berbeda, ada orang yang bisa berbelanja apa saja dan berapapun biayanya, lihat saja para koruptor, di rumahnya puluhan mobil mewah terpakir, rumah mewahnya ada di mana-mana, dan tanahnya juga tersebar di berbagai daerah. Bila uangnya bingung di mana menyimpannya, ada seorang koruptor yang mentransfer uangnya kepada para model dan artis film. Jadi prostitusi elit juga merupakan buah dari tindak korupsi.




BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline