Hanya gara-gara naik kuda tinggi besar dan membawa keris di pinggang saat kampanye Partai Gerindra di Gelora Bung Karno, Jakarta, Prabowo Subianto disebut sebagai keturunan Pangeran Diponegoro. Sebutan keturunan Diponegoro pada Prabowo mungkin tak menimbulkan reaksi bila di saat hari-hari biasa namun dalam suasana kampanye maka sebutan itu menimbulkan berbagai reaksi. Reaksi yang ada malah disebut Prabowo adalah keturunan seorang kapiten yang menangkap Diponegoro.
Menyebut sebagai keturunan Diponegoro adalah sebagai upaya menambah daya pikat Prabowo di tengah masyarakat. Masyarakat yang masih hidup dalam dunia yang penuh dengan mitologi, sangat percaya akan kekuatan dari sosok besar di mana sosok itu diakui ada hubungannya dengan kekuatan di luar kekuatan manusia, misalnya dewa, setan, dan jin. Kekuatan besar itu memancarkan auranya yang mempunyai dampak perubahan besar di tengah masyarakat, baik kesejahteraan atau bencana. Sosok besar itu tindak tanduk dan apa yang dituahkan menjadi sebuah jalan kehidupan, panutan, atau pantangan.
Diponegoro menjadi sebuah fakta dan mitologi yang hidup di tengah masyarakat selain karena kisah perjuangannya dalam Perang Jawa, 1825-1830, juga karena ia adalah putra Sultan Hamengkubuwono III, Raja Kasultanan Jogjakarta. Menurut anggapan masyarakat Jawa, raja mempunyai kekuatan yang lebih daripada kekuatan manusia biasa. Raja diyakini memiliki kekuatan yang bisa menembus di luar batas lingkup manusia. Dari kepercayaan ini, Raja Jogja diyakini bisa bertemu dan berkomunikasi dengan Nyi Roro Kidul. Dalam mitologi Jawa, Nyi Roro Kidul adalah ratu penguasa Laut Selatan yang memiliki kekuasaan dan kekuatan yang luar biasa. Bila marah bisa membuat tsunami.
Melekatkan mitologi Diponegoro pada Prabowo tentu dengan tujuan agar masyarakat Jawa percaya bahwa Prabowo adalah sosok yang memiliki kekuatan besar dan mampu berkomunikasi dengan kekuatan-kekuatan gaib. Dengan mitologi yang demikian masyarakat di bawah alam sadar akan menyakini bahwa Prabowo adalah sosok yang harus diterima sebagai pemimpin. Dengan pemitologian Diponegoro pada Prabowo maka bisa menggiring masyarakat mendukungnya.
Cerita pemitologian sosok besar buka hanya ada pada kisah Prabowo. Tokoh-tokoh lainnya juga melakukan pemitologian diri. Soekarno, Soeharto, Susilo Bambang Yudhoyono, dan pemimpin lainnya juga mempunyai cerita yang demikian. Biasanya mereka mengaitkan atau dikaitkan dengan raja-raja kerajaan nusantara, misalnya ada yang mempunyai garis keturunan dengan Raja Brawijaya, Brawijaya adalah raja terakhir Kerajaan Majapahit, atau raja-raja besar lainnya. Lihat saja, cerita mitologi Soeharto masih demikian kuatnya di Jawa. Tempat-tempat yang pernah dikunjungi dijadikan sarana untuk melakukan ritual untuk berhubungan dengan dunia lain. Mitologi Soeharto di Jawa inilah yang bisa menciptakan bahwa Soeharto adalah pemimpin besar dan yang membuat namanya di masyarakat pedesaaan masih dikenang dengan baik. Tak heran mitologi Soeharto ini dijadikan dagangan Partai Golkar dalam kampanye.
Pemitologian tersebut membuat masyarakat bisa tunduk, mengiyakan apa yang diinginkan, dan membela bila kekuasaannya diganggu. Pemitologian itu merupakan pembentengan dan atau sarana bagi orang yang mengaku keturunan dengan sosok besar untuk kepentingan-kepentingan kekuasaan.
Padahal kalau mau jujur, orang-orang itu bisa jadi tidak ada hubungannya dengan sosok-sosok besar. Garis keturunan yang ada hanya dibuat-buat dan ditarik-tarik seolah-olah ada hubungan pertalian darah. Siapa saja bisa menarik-menarik diri garis keturunannya sesuai dengan selera masing-masing. Tak heran bila ada yang mengaku-ngaku keturunan sosok-sosok besar pada masa kerajaan nusantara, seperti Raja Hayam Wuruk, Patih Gajah Mada, Raja Siliwangi, dan lain sebagainya.
Pemitologian pada seseorang yang marak menjelang pemilu menunjukkan masyarakat gelap mata untuk bisa mendapat kekuasaan. Bila cara-cara rasional semakin sengit dalam persaingan maka cara irasional juga digunakan. Nah menyikapi yang demikian maka diperlukan sikap masyarakat yang cerdas dan tenang dalam memilih. Dalam suasana kemiskinan, kebodohan, dan ketidakadilan sosial, biasanya membuat masyarakat bingung dalam menentukan pilihannya. Masyarakat yang demikian tidak hanya mudah tergoda dengan bantuan sembako atau uang namun juga mudah terjebak dengan pemitologian.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H