Lihat ke Halaman Asli

Ardi Winangun

TERVERIFIKASI

seorang wiraswasta

Peniup Peluit Kecurangan Pemilu

Diperbarui: 23 Juni 2015   23:03

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Politik. Sumber ilustrasi: FREEPIK/Freepik

Selepas Pemilu Legislatif 2014 diberitakan di media massa banyak perilaku aneh dari para calon anggota legislatif (caleg) yang tidak berhasil menjadi wakil rakyat. Mereka ada yang stress hingga pergi ke paranormal, dukun, dan atau kiai agar jiwa dan raganya tenang; ada pula yang meminta kembali amplop yang telah ditebar ke para pemilih, bahkan ada yang berbuat anarkhis kepada para pemilih yang telah diberi fasilitas rumah, tanah, dan kebutuhan lainnya namun suaranya minim dari yang diberi fasilitas itu.

Mereka melakukan hal yang demikian, menurut masyarakat sebagai tindakan yang disebut tak lazim, strees, bahkan gila. Tak bijak bila kita menilai secara pihak terhadap ulah caleg gagal. Kita juga harus memahami psikologi caleg gagal. Mereka sudah mengeluarkan uang tidak sedikit, baik tunai atau bentuk barang lainnya, yang diberikan kepada pemilih. Meski tidak ada perjanjian tertulis bahwa pemilih akan mencoblosnya namun ketika mereka menerima amplop atau fasilitas lainnya hal demikian dianggap oleh caleg sebagal sebuah ‘proses perjanjian.’

Sayangnya dari fenomena caleg gagal yang berperilaku aneh, pelampiasan yang dilakukan secara nyleneh sehingga menimbulkan kesan negatif kepada mereka. Dari fenomena ini caleg gagal, langkah Agustina Amprawati patut ditiru dan pentingnya untuk diikuti caleg-caleg gagal lainnya. Sebagaimana diberitakan di media massa, caleg dari Partai Gerindra Dapil II DPRD Provinsi Jawa Timur itu melaporkan 13 Panitia Pemilihan Kecamatan (PPK) Ke Panitas Pengawas Pemilu. Ketigabelas orang itu dilaporkan ke pengawas pemilu sebab telah melakukan tindakan ingkar janji untuk menggelembungkan suara Agustina. Meski sudah diberi uang dan sepeda motor namun ketigabelas orang itu tak memenuhi janjinya untuk menggelembungkan suaranya.

Kita mendukung langkah Agustina ini di sini bukan dalam perkara melakukan perjanjian hitam dengan ketigabelas orang itu namun langkahnya membongkar jaringan hitam untuk memenangkan dan atau mengalahkan caleg-caleg yang bertarung dalam pemilu.

Sebagaimana menjadi rahasia umum, tindakan ketigabelas orang itu menjadi praktek yang biasa dari pemilu ke pemilu sehingga seorang caleg yang lolos menjadi wakil rakyat bukan hanya ditentukan oleh perolehan suara namun juga ditentukan oleh perjanjian hitam. Perjanjian hitam itu bisa berupa mengamankan suara, bisa pula untuk menggelembungkan suara. Perjanjian hitam itu tentu tak gratis. Segepok uang pastinya akan disetor sebagai uang pengaman dan atau penggelembung. Dengan pengamanan maka suara caleg tak akan disedot ke caleg yang lain, sementara dengan penggelembungan membuat caleg yang suaranya tak jelas bisa meningkat sehingga bisa menjadi wakil rakyat karena terbukti di atas kertas kuota suaranya memenuhi syarat yang ditentukan.

Selama ini banyak caleg gagal yang dikelabui oleh ulah seperti ketigabelas orang tadi tidak berani mengungkapkan penipuan sebab ini merupakan aib. Dengan melaporkan kejadian itu bisa membuka boroknya sendiri sehingga mereka lebih memilih diam meski nggrundel. Ketika tidak ada orang berani melaporkan penipuan yang dilakukan oleh petugas pemilu membuat praktek seperti itu tetap berjalan.

Rugi dari praktek-praktek seperti ini tidak hanya kepada para caleg yang telah menyetorkan uang yang jumlahnya ratusan bahkan miliaran rupiah namun juga bisa menggagalkan caleg-caleg yang mempunyai suara signifikans. Dengan praktek seperti ini maka caleg yang paling banyak mengguyur uang maka ia yang terpilih. Banyak caleg yang berkualitas dengan suara yang cukup namun karena tidak ada uang pengaman dan atau penggelembung membuat mereka tersisih. Bila demikian bagaimana wajah lembaga perwakilan rakyat itu?

Langkah melaporkan petugas pemilu yang berbuat curang kepada pihak yang berwajib untuk menindak mereka, merupakan sebuah langkah maju untuk menciptakan pemilu yang Luber dan Jurdil serta bersih dan transparan. Tentu panitia pengawas pemilu harus berani mengambil sikap tegas kepada petugas pemilu yang berbuat curang. Tak hanya pemecatan diberikan kepada mereka namun bila perlu hukuman kurungan. Bila tidak melakukan tindakan yang membuat jera maka praktek yang demikian akan terulang.

Soal tipu-tipu dalam pemilu kalau kita mau terbuka sebenarnya tidak hanya dilakukan oleh petugas pemilu namun juga dilakukan oleh pemilih. Sebagaimana diketahui, entah karena faktor kemiskinan atau aji mumpung, pemilih menggunakan pemilu ini untuk meraup keuntungan. Caranya mereka menerima uang dari siapa saja yang memberi padahal mereka belum tentu mencoblos. Untuk lebih meraup uang yang lebih banyak mereka menyaru menjadi tim sukses padahal tugas mereka bukan mensukseskan caleg namun mensukseskan diri sendiri. Tak heran bila menjelang pemilu banyak orang mengaku memiliki massa atau mempunyai pengaruh di masyarakat demi dijadikan tim sukses. Namun setelah mereka diberi uang yang tak sedikit, mereka langsung menghilang.

Suap menyuap dan tipu menipu dalam pemilu ini akan terus terjadi bila tidak ada proses yang membuat caleg, petugas pemilu, dan pemilih dibuat jera. Semua pihak yang terlibat dalam proses suap menyuap dan tipu menipu harus dilaporkan kepada petugas yang berwajib atau diunggah ke publik siapa pelakunya. Selama ini caleg yang menyuap saja yang disalahkan, sementara pemilih dan petugas pemilu yang menikmati uang haram tidak pernah diusut.

Langkah Agustina dengan melaporkan ketigabelas orang tadi perlu diikuti oleh caleg lain yang juga telah ditipu. Bila perlu di antara caleg, pemilih, petugas pemilu saling melaporkan bila ada penipuan dan kecurangan. Ini semua untuk kebaikan bersama demi pemilu yang Luber dan Jurdil.




BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline