Lihat ke Halaman Asli

Ardi Winangun

TERVERIFIKASI

seorang wiraswasta

Menambah Saingan, Risma Dikerdilkan

Diperbarui: 24 Juni 2015   01:27

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Politik. Sumber ilustrasi: FREEPIK/Freepik

Ketegasan dan kecerdasan Tri Rismaharini dalam membangun Kota Surabaya membuat namanya melambung. Lambungan namanya tidak hanya bergaung dari Sabang sampai Merauke namun juga ke seantero dunia. Baru dua tahun menjabat sebagai wali kota, dirinya sudah masuk nominasi wali kota terbaik versi The City Mayors Foundation. Setahun kemudian, tahun 2013, memperoleh The 2013 Asean Twonscape Awards dari PBB dan Future Government Awards tingkat Asia Pasifik.

Prestasi yang demikian tak hanya membuat Surabaya menjadi kota yang lebih beradab namun juga membuat popularitas dirinya melompat. Tak hanya popularitas yang melompat namun elektabilitas dirinya, dalam suvei calon presiden, juga demikian. Tak heran bila nama Risma masuk dalam bursa calon presiden atau wakilnya.

Hebat dari Risma adalah ketika mengelola Surabaya dirinya jauh dari kesan pencitraan. Blusukan bukan gaya yang diumbar setiap saat. Ketegasan menolak sesuatu yang dirasa tak baik, seperti menolak jalan tol tengah kota; dan memaksakan sesuatu yang dirasa baik, yakni menaikkan iklan reklame dan menutup Gang Dolly; merupakan gaya kepemimpinannya.

Sukses membangun Surabaya, rupanya menimbulkan kegelisahan, kegerahan, dan ketakutan dari sebagaian kalangan, terutama dari internal partai yang mengusungnya, PDIP; serta pengusaha yang tak taat pajak. Untuk mencegah semakin tingginya popularitas dan elektabilitas Risma, maka kekuasaannya mulai digoyang-goyang.

Risma digoyang-goyang kekuasaannya bisa jadi ia tidak menguntungkan secara ekonomi dan politik bagi kelompok tersebut di atas. Tegasnya Risma menolak pembangunan jalan tengah kota dan menaikkan reklame disebut banyak pihak membuat mampetnya sumber-sumber ekonomi oknum partai. Pengusaha yang gerah dengan kebijakan itu bisa jadi memprovokasi politisi untuk menggoyang kekuasaan Risma.

Dalam bidang politik, melambungnya elektabilitas dan popularitas Risma rupanya membuat semakin banyaknya calon presiden atau wakil presiden dari PDIP. Sebenarnya hal demikian harus disyukuri. Itu menunjukkan orang-orang yang diusung PDIP memenuhi selera yang diinginkan rakyat. Sayangnya hal demikian tidak terjadi. Naiknya Risma dianggap menambah saingan di internal PDIP dalam Pemilu Presiden 2014.

Orang PDIP berpikir, tingginya popularitas dan elektabilitas Gubernur Jakarta, Jokowi, saja belum jelas mau dikemanakan. Bila ditambah dengan Risma tentu akan semakin ruwet. Banjir yang belum teratasi, mandeknya pembangunan MRT, dan kembalinya pedagang berjualan di jalan Tanah Abang, membuat elektabilitas Jokowi turun. Sekarang, Risma yang memiliki elektabilitas dan popularitas tinggi dibanding Jokowi.

Sayangnya, tingginya popularitas dan elektabilitas Risma tidak segera ditanggapi dengan serius oleh elit PDIP. Hak demikian bisa jadi elit PDIP dalam posisi kebingungan dalam mengusung siapa calon presiden dan wakil presiden yang hendak disodorkan kepada masyarakat. Masih nafsunya Megawati dan kelompok pendukungnya untuk maju dalam Pemilu Presiden 2014 yang tinggal beberapa bulan, menghambat penentuan calon presiden dan wakil presiden yang diajukan oleh PDIP.

Bisa jadi ada skenario mengamankan Megawati sebagai calon presiden sehingga baik di internal partai maupun saat bertarung dalam Pemilu presiden 2014 maka saingan-saingan dari dalam khususnya ‘dihabisi’ lebih dahulu. Kalau kita lihat dari dulu hingga sekarang, Risma didesak untuk mundur. Bila Risma dilepas tanpa kendali, popularitas dan elektabilitasnya akan menyalip Megawati jauh-jauh.

Sebagai Ketua Umum PDIP, memang Megawati memang diberi hak penuh untuk menentukan calon presiden dalam Pemilu Presiden 2014. Ini merupakan Keputusan Kongres PDIP di Bali beberapa waktu yang lalu. Keputusan yang demikian bisa jadi dari niat Megawati sendiri, bisa pula dari pembisik-pembisiknya. Dari semua itu menunjukan adanya sebuah ketidakdemokratisan dari partai yang juga mengambil nama demokrasi. Nama demokrasi namun sistemnya feodal.

Seharusnya elit PDIP dan Megawati belajar pada masa lalu, bahwa sesungguhnya Megawati itu tidak pernah dipilih oleh rakyat. Dalam Sidang Umum MPR tahun 1999, Megawati kalah dengan Gus Dur dalam pemilihan presiden di MPR. Kemudian tahun 2004 dan 2009, Megawati kalah dalam Pemilu Presiden dengan Susilo Bambang Yudhoyono. Ia menjadi presiden hanya karena peralihan kekuasaan.

Bila PDIP memaksakan Megawati menjadi calon presiden dalam Pemilu Presiden, sepertinya kekalahan itu akan terulang. Bila Megawati gagal menjadi presiden maka PDIP akan kembali menjadi kelompok pinggiran. Bila demikian yang rugi anggota PDI dan pendukungnya secara keseluruhan.

Seharusnya PDIP mulai rasional. Kaderisasi dan memberi dukungan kepada yang muda lebih diprioritaskan daripada bersikukuh namun tidak mempunyai potensi menang dalam Pemilu Presiden. Sikap legowo elit PDIP dan Megawati seharusnya dikedepankan untuk memberi peluang kepada sosok yang diinginkan oleh rakyat. Bisa jadi sosok itu Risma. @winangunardi




BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline