Pagi itu saya menunggu di sebuah guest house di Khao San Road, Bangkok, Thailand. Khao San Road adalah sebuah tempat sangat popular bagi backpacker dunia di mana setiap malam mereka memenuhi jalan untuk menghabiskan waktu untuk makan, minum, belanja, pijat, atau aktivitas wisata lainnya.
Menunggu di lobby sebuah guest house yang terjangkau untuk menunggu jemputan dari sebuah biro travel untuk melakukan wisata ke daerah Ratchaburi dan Kanchanburi. Sambil menunggu di tempat itu saya sempat berkenalan dan berbincang dengan seorang cewek dari China, yang juga seorang backpacker, tentang perjalanan wisata di Thailand.
[caption id="attachment_367500" align="aligncenter" width="300" caption="Floating market atau pasar apung"]
[/caption]
Selang setengah jam menunggu, tiba-tiba ada seorang berwajah Indochina masuk ke dalam lobby hotel dengan membawa sebuah catatan nama peserta wisata bareng-bareng lewat sebuah biro travel. Entah karena tidak bisa membedakan nama yang dipegang itu laki-laki atau perempuan, sang penjemput tadi mengira cewek dari China itulah yang akan ikut dalam rombongan. Setelah saya menjelaskan bahwa sayalah nama yang ada dalam catatan yang dibawa itu, akhirnya ia paham dan mengajak saya ke dalam mobil yang akan membawa ke tempat tujuan.
Di Khao San Road, sudah ada mobil sejenis van yang tersedia. Saya menghampiri mobil itu. Saya pikir mobil akan segera berangkat namun rupanya penjemput tadi masih masuk ke dalam guest house lain untuk memanggil peserta wisata lain untuk segera berkumpul. Setelah ada sekitar 6 orang, ada yang berkulit bule, ada yang berkulit kuning, bahkan ada berkulit hitam, masuk ke mobil, kemudian kendaraan beroda empat itu berangkat. Saya berpikir kembali bahwa mobil itu segera meluncur ke tempat wisata.
Rupanya dugaan saya kembali salah sebab mobil berkumpul lagi dengan mobil yang lain di sisi tempat yang tak jauh dari tempat semula yang masih berada di lingkup tempat yang pernah dipopularkan oleh Leonardo DiCaprio lewat sebuah film Hollywood itu.
Di tempat itu ada sekitar 4 mobil, tempat itu rupanya pangkalan mobil wisata para pelancong. Wisatawan akan dibagi sesuai dengan route ke mana arah tempat wisata dan berapa hari ia membayar paketnya, ada yang sehari, dua, bahkan 3 hari. Sebab saya berada dalam paket sehari maka saya dikumpulkan dengan para pelancong lainnya yang sepaket.
Setelah semua sudah masuk pada masing-masing mobil sesuai dengan paket dan program wisata, kendaraan-kendaraan yang yang bercat putih itu langsung meninggalkan pangkalan yang biasanya menjadi titik kumpul para pelancong. Dalam perjalanan, pemandu wisata yang mengaku bernama Bun Chai mengatakan bahwa perjalanan ini akan menuju ke Floating Market di Dumnoen Saduak, Ratchaburi, dan War Museum serta Tiger Tempel di Kanchanaburi.
Dalam perjalanan menuju Floating Market, kita bisa menikmati nikmatnya jalan tol di Kota Bangkok. Arahnya keluar kota, pada pagi hari, jalan tol lengang, beda dengan sebaliknya yang menuju ke kota, meski padat namun tetap lancar bergerak. Kota Bangkok sepertinya giat membangun jalan tol sebab sepanjang perjalanan kita melihat jalan yang bersimpang siur dan bertingkat sehingga enak dipandang dan mampu mengurai kemacetan.
Selepas keluar dari jalan tol, kita memasuki jalan biasa meski demikian jalan tetap lancar dan tidak semrawut. Bisa jadi penduduk Kota Bangkok dan sekitarnya terkendali sehingga aktivitas masyarakat tidak berjubel seperti di Jakarta atau sepanjang jalan Pantura, Jawa. Menuju ke Floating Market, kita melihat di kanan kiri jalan banyak lahan pertanian dan berbagai kebun, seperti kebun kelapa. Masih banyak tanah-tanah kosong di sana.
Setelah menempuh perjalanan kurang lebih 1,5 jam, tibalah kita di sebuah tempat pemberhentian mobil untuk menuju ke Floating Market. Di tempat itu sudah tersedia pangkalan perahu-perahu kayu bermesin motor yang akan mengangkut para wisatawan menuju pusat pasar.
Saya berlima dengan yang lain menaiki sebuah perahu yang akan menyusuri sungai-sungai yang sepertinya bukan seperti sungai aslinya. Floating Market bisa jadi adalah sebuah tempat yang dibangun oleh pemerintah daerah untuk dijadikan tempat wisata. Hal demikian terlihat dari kanan-kiri sungai dilapisi dengan beton dengan rapi. Dengan pembetonan itu maka air sungai seolah-olah dibendung sehingga volume dan tinggi rendahanya air bisa diatur. Awalnya tempat di itu pasar tradisional yang menggunakan laluan sungai untuk beraktivitas namun karena Pemerintah Thailand menggalakkan kunjungan wisata maka wilayah itu dikemas menjadi lebih menarik dan dijadikan objek wisata nasional dan internasional.
Melintasi laluan sungai yang lebarnya dua meter, perahu bergerak satu per satu. Banyak simpangan-simpangan sungai yang dibuat sehingga mengesankan laluan sungai panjang. Seperti di jalan darat, bila ada pertemuan laluan sungai, pertigaan atau perempatan, karena lebar sungai 2 sampai 3 meter, kapal harus antri atau yang lain mengalah untuk mempersilahkan kapal yang lain untuk lewat duluan. Bila tidak ada yang mengalah bisa membuat kapal bertabrakan atau saling menghalangi untuk berjalan.
Selepas melewati sungai yang lebarnya 2 sampai 3 meter, kapal berada di laluan sungai selebar 10 meter. Di laluan inilah kapal ngebut, ngebut-nya kapal menyebabkan gelombang sungai tinggi, hal demikian terasa ketika simpangan dengan kapal yang lain, sehingga goyangan kapal menjadi terasa. Di sepanjang sungai ini terlihat beberapa toko yang menjual berbagai kebutuhan masyarakat, dari toko kelontong hingga bahan bangunan. Di tempat inilah mungkin Floating Market yang asli.
Selepas melalui laluan ini, selanjutnya masuk ke dalam laluan sungai yang lebarnya 2 sampai 3 meter. Sampai di sebuah tempat, seluruh penumpang kapal disuruh turun. Rupanya lokasi penurunan itu untuk masuk dalam jantung Floating Market. Pemandu wisata mengajak ke sebuah bangunan, kalau di Bali seperti pasar seni yang menjual berbagai produk kerajinan tangan hingga kaos khas. Selepas menyusuri tengah pasar seni, kita dihadapkan sebuah pangkalan kapal kayu atau sampan. Pemandu wisata menerangkan bila ingin menyusuri jantung Floating Market harus naik sampan yang dikayuh oleh kebanyakan kaum perempuan, dengan ongkos 150 bath, tidak naik pun tidak dipaksa.
Saya pun membeli tiket itu bisa menyusuri jantung Floating Market. Menyusuri jantung Floating Market memang sangat enak dan menikmati, berjalan pelan-pelan, dan di kanan kiri banyak toko atau artshop yang menjual berbagai souvenir khas Thailand, terbuat dari kayu, tempurung kelapa, perak, besi, dan lain sebagainya. Yang dijual seperti dagangan yang ada di Pasar Seni Sukawati, Kumbasari, Kuta, Sanur, Bali; Pasar Beringhardjo, Malioboro, Jogjakarta; dan tempat-tempat wisata di Indonesia lainnya.
Tak hanya di pinggir sungai barang dagangan itu dijual, ada di antara mereka yang menjual di atas sampan, tidak hanya souvenir wisata namun juga makanan, minuman, dan buah-buahan. Sebab laluan sungai hanya 2 sampai 3 meter, sering sampan-sampan yang ada bersenggolan meski demikian tak ada keributan ketika bersenggolan.
Para pedagang dalam menawarkan dagangannya tidak hanya menyapa dengan ramah namun mereka juga menarik dengan semacam gantolan, sebuah tongkat sepanjang 1,5 meter dan ada kait seperti pancing, gantolan itu untuk menarik atau menepikan sampan merapat ke artshop-nya. Meski digantol namun wisatawan dan pengayuh sampan tidak marah.
Penulis ulangan lagi, bahwa Floating Market di Ratchaburi ini tidak asli pasar tradisional seperti Floating Market di Banjarmasin, Kalimantan Selatan, Indonesia, namun ada unsur keterlibatan pemerintah untuk mendesain sedemikian rupa sehingga menjadi tempat wisata yang menarik dan menyenangkan, terbukti mayoritas pengunjung tempat itu adalah orang-orang dari luar Thailand.
Selepas dari menyusuri jantung Floating Market, pemandu mengajak seluruh wisatawan untuk kembali ke mobil masing-masing dan melanjutkan perjalanan ke tempat tujuan selanjutnya. Saya pun naik mobil dengan nomor yang saya ingat. Saya menduga bahwa rombongan satu mobil ini tidak akan berganti penumpang lagi, ternyata di sebuah tempat semacam rest area, ada penumpang yang dinaikan dan diturunkan, karena paket wisatanya beda. Dan mereka yang diturunkan naik mobil yang lain.
Setelah makan siang bersama, dengan jatah yang sudah ditakar, sehingga tidak bisa menambah, perjalanan dilanjutkan menuju War Museum. Tempat ini berada di Provinsi Kanchanaburi, berada di samping Bridge River Kwai (Kwae). Masuk museum yang ditarik ongkos 40 bath, pengunjung bisa menyaksikan perjalanan bangsa Thailand dalam Perang Dunia II, di sini sangat jelas bagaimana posisi tentara Jepang di sana seperti saat di Indonesia. Di dalam museum terlihat berbagai peninggalan alutsista perang mulai dari kereta angkut buatan Jerman hingga mortir.
Tak jauh dari museum ada sebuah jembatan yang sangat bersejarah yakni Bridge River Kwai. Jembatan ini bukan jembatan penyeberangan manusia namun sebuah jalur kereta dari Thailand menuju Myanmar (Burma) atau sebaliknya. Jembatan untuk lewat kereta yang memiliki panjang lebih dari 100 meter itu menjadi saksi Perang Dunia II sebab pernah rontok atau ambruk karena kena serangan ledakan.
Di atas jembatan ini, ratusan wisatawan asing bisa melintasi dengan jalan kaki atau naik kereta bolak-balik. Terlihat jembatan itu meski tegak berdiri namun tidak kelihatan kokoh sehingga para wisatawan hati-hati saat melintas. Bagi yang phobia ketinggian, tentu tidak berani melintasi jembatan itu sebab di bawahnya menganga Sungai Kwai yang dalam. Tak lama wisatawan menikmati tempat wisatawan Museum War dan Bridge River Kwai.
Perjalanan pun dilanjutkan menuju ke Tiger Temple. Perjalanan ke sana yang berjarak 30 km d tempuh dalam waktu yang terbilang cukup singkat, selain karena jalanan lengang, jalannya cukup besar.
Memasuki area Tiger Temple, pemandu wisata menjelaskan ada aturan yang harus dipenuhi, misalnya pengunjung tidak boleh memakai pakai berwarna menyolok seperti merah, kuning, dan pink. Tak hanya itu, pakaian harus sopan. Saat itu ada pengunjung yang menggunakan pakaian terbilang seksi sehingga oleh pemandu disuruh menggunakan kaos penutup. Aturan kesopanan itu diterapkan bisa jadi karena memasuki tempat suci para biarawan Budha.
Bila pengunjung memasuki tempat wisata lain dengan senyum dan ceria namun berada di gerbang Tiger Temple semua nampak tegang sebab seperti dalam video atau brosur wisata, mereka tahu akan memasuki sebuah tempat di mana macan atau harimau berukuran besar dilepaskan. Mereka sadar bahwa mereka akan bertemu dengan binatang liar, buas, pemakan daging, dan tak bisa dianggap remeh dalam memberlakukannya. Hal demikianlah yang bisa jadi membuat pengunjung menjadi tegang.
Sebelum menjumpai binatang berkulit emas loreng itu, pengunjung masuk dengan berjalan kaki sejauh 200 meter dari gerbang. Dalam perjalanan terlihat bahwa area Tiger Temple berada di daerah tandus, tanahnya mirip seperti di Nusa Tenggara Timur atau daerah Bali bagian selatan seperti Jimbaran dan Pecatu, yakni tanah keras dan banyak batuan karang.
Dalam temple, biarawan Budha tak hanya memelihara macan namun juga banyak memiliki hewan lain seperti sapi, kerbau, rusa, dan babi hutan. Hewan-hewan berkaki empat itu dilepasliarkan di area itu.
Setelah berjalan 200 meter dari gerbang, pengunjung mendapati Tiger Canyon. Tiger Canyon adalah sebuah tempat di mana dikelilingi oleh tebing cadas. Di area ini ada sekitar 5 macan besar dan 2 anak macan yang dirantai. Sebelum pengunjung diperkenankan masuk Tiger Canyon, pengelola Tiger Temple menjelaskan aturan-aturan yang harus ditaati, seperti demi keselamatan atau menjaga tingkah polah maka setiap pengunjung didampingi dua pemandu dari Tiger Temple, satu yang menuntun ke mana mereka harus berjalan dan satunya yang memotret.
Di Tiger Canyon inilah, pemandu menuntun pengunjung ke arah macan-macan yang dirantai dan pemandu lain memotret. Jadi pengunjung di tempat itu, tidak bebas mengambil gambar. Pengelola dengan sabar melayani pengunjung untuk mengelus-ngelus macan dan satunya memotret.
Selepas di Tiger Canyon pengunjung dibawa ke Tiger Island Area. Di tempat itu, atraksi terakhir wisata di Tiger Temple, yakni sebuah macan besar yang diikat di sebuah pohon kemudian salah satu biarawan Budha memberi susu kepada macan besar itu. Pengunjung bisa mengambil gambar diri dengan adegan itu satu persatu alias antri. Tak heran di dekat biarawan Budha yang memberi minum susu kepada macan, antrian mengular untuk foto bareng.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H