Lihat ke Halaman Asli

Ardi Winangun

TERVERIFIKASI

seorang wiraswasta

Ketidakadilan di Perbatasan Indonesia

Diperbarui: 17 Juni 2015   19:07

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Bulutangkis. Sumber ilustrasi: PEXELS/Vladislav Vasnetsov

Di tengah hiruk pikuk berita soal Presiden Jokowi, kita dikejutkan dengan adanya ancaman warga yang berada di 10 desa di Kecamatan Long Apari, Kabupaten Mahakam Ulu, Kalimantan Timur, yang ingin pindah menjadi warga negara Malaysia.

Mereka berkeinginan untuk mengubah status kewarganegaraannya bisa jadi karena apa yang di depan mata mereka, di mana mereka tinggal di wilayah perbatasan Indonesia-Malaysia, kehidupan di sana lebih baik. Hanya beberapa meter atau paling jauh 1 km dari tempat yang mereka diami, berbagai fasilitas seperti jalan, listrik, infrastruktur pendukung, dan geliat ekonomi tersedia. Sedang di tempat yang selama ini didiami, semua serba kekurangan. Jalan tak jelas keberadaannya, tak ada listrik, tak ada pasar, dan minim fasilitas lainnya.

Cerita yang demikian sebenarnya bukan yang pertama kali. Sudah banyak ancaman dari warga negara Indonesia yang tinggal di perbatasan ingin pindah ke negara sebelah. Adanya peristiswa semacam itu menunjukan bahwa pembangunan belum sampai ke pelosok-pelosok nusantara. Dan ini menjadi pukulan bagi pemerintah kabupaten, pemerintah provinsi, dan pemerintah pusat. Apa yang mereka lakukan selama ini hingga sampai ada persitiswa seperti itu?

Mereka yang berkeinginan pindah tersebut bisa dikatakan sebagai pencari suaka, sebab ketidakmerataan pembangunan membuat mereka menjadi penderita. Ketidakmerataan pembangunan itu menunjukan adanya diskriminasi pembangunan, di sini adanya ketidakadilan pembangunan. Bila ini didengar oleh UNHCR atau lembaga-lembaga internasional, ini bisa menjadi isu gawat dan mereka yang ingin pindah warga negara itu, keberadaannya dilindungi oleh hukum internasional.

Pemerintah sebenarnya mendengar apa yang dirasakan oleh masyarakat yang berada di wilayah perbatasan. Pemerintah tidak bersikap dengan adanya keluhan minimnya infrastruktur di perbatasan bisa jadi antara pemerintah kabupaten, pemerintah provinsi, dan pemerintah pusat saling lempar tanggung jawab. Pemerintah daerah menuding bahwa masalah perbatasan adalah masalah pemerintah pusat. Sedang pemerintah pusat menyebut wilayah perbatasan adalah tanggung jawab wilayah daerah karena pemerintah daerah-lah yang tahu masalahnya.

Saling tuding antar pemerintahan dalam masalah pembangunan wilayah perbatasan itu sebenarnya disebabkan oleh beberapa faktor. Pertama, tidak adanya pembangunan di wilayah perbatasan sebab tidak adanya anggaran yang cukup untuk membangun infrastruktur. Anggaran yang ada habis untuk menggaji pegawai, untuk dunia pendidikan, dan subsidi BBM. Meski ada anggaran namun dirasa kecil sehingga pembangunan yang dilakukan tidak mampu meng-cover wilayah perbatasan dari ujung ke ujung.

Anggaran yang ada dapat untuk membangun pasar, pelabuhan, bandar udara, dan jalan, namun dampak dari pembangunan itu biasanya hanya terasa di ibu kota kabupaten. Di wilayah-wilayah yang agak masuk ke dalam, dampak dari pembangunan itu tak terasa. Akibatnya ya seperti kejadian di atas, adanya ketidakadilan pembangunan sehingga ada yang ingin pindah kewarganegaraan.

Kedua, pemerintah tidak mau membangun wilayah perbatasan sebab wilayah itu terisolasi, berada di daerah yang sulit seperti hutan yang lebat, gunung, dan jurang. Sebagaimana wilayah di perbatasan Kalimantan Timur, merupakan daerah yang sulit dijangkau dan dijamah oleh manusia. Hutan yang masih lebat dan kondisi alam berupa pegunungan dan jurang membuat pembangunan infrastruktur jalan sulit dilakukan.

Kalaupun dibangun jalan, pastinya memerlukan anggaran yang tidak sedikit. Pemerintah enggan membangun jalan bukan hanya karena terbebani anggaran namun secara ekonomi pembangunan itu tidak akan ‘balik modal.’ Maksudnya adalah masih sedikitnya penduduk yang tinggal di wilayah itu membuat pembangunan infrastruktur kalau dihitung secara ekonomi tak ekonomis. Ada pikiran buat apa membangun jalan kalau tidak ada yang lewat.

Wilayah Kota Sabang, Aceh, karena berada di wilayah yang mudah dijangkau oleh berbagai sarana transportasi, dekat dengan Kota Banda Aceh, dan berada dalam jalur pelayaran internasional maka pembangunan di sana tidak kalah dengan pembangunan di Jawa meski Sabang berada di wilayah perbatasan Indonesia dengan India, Thailand, dan Malaysia. Jadi di sini pembangunan yang dilakukan oleh pemerintah tergantung dari faktor lokasi dan itung-itungan ekonomi.

Ketiga, pemerintah tidak membangun daerah perbatasan selain disebutkan oleh paparan di atas, juga dikarenakan wilayah perbatasan itu tidak memiliki sumber daya alam yang potensial atau memiliki nilai yang tinggi. Andaikan di wilayah perbatasan Kalimantan Timur itu kaya sumber daya alam seperti minyak, emas, atau unsur mineral lainnya yang memiliki nilai yang tinggi, pastinya daerah itu akan menjadi pusat-pusat ekonomi baru.

Adanya PT. Newmont di Kabupaten Sumbawa Barat, Nusa Tenggara Barat, membuat pemerintah membangun daerah itu hingga akhirnya wilayah itu mampu menciptakan multiefecplier kepada masyarakat setempat. Demikian pula adanya PT. Freeport di Timika, Papua; dan PT. Caltex di Duri, Bengkalis, Riau.

Selama pemerintah masih berpikir dengan kerangka di atas maka adanya keinginan bedol desa warga di Mahakam Ulu itu akan selalu terjadi. Dan biasanya pemerintah menanganinya masalah itu dengan tidak tuntas bahkan mereka dituduh tidak nasionalis.




BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline