Politik dinasti merupakan fenomena yang telah lama mempengaruhi struktur politik banyak negara, termasuk Indonesia.Di negara ini, politik dinasti mengacu pada praktik peralihan kekuasaan politik dari satu anggota keluarga ke anggota keluarga lainnya. Di Indonesia sendiri, politik dinasti bukanlah hal baru. Fenomena ini sudah ada sejak masa Orde Baru dengan hanya segelintir keluarga yang memegang kekuasaan politik dominan.
Misalnya, keluarga Suharto, di mana Presiden Suharto memegang kekuasaan selama lebih dari tiga dekade dan mengakomodasi anggota keluarganya dalam posisi-posisi strategis. Era reformasi kemudian membuka peluang bagi dinamika politik yang lebih plural, tetapi praktik politik dinasti tetap bertahan. Dalam beberapa dekade terakhir, fenomena politik dinasti semakin terlihat, terutama dalam konteks pemilu daerah dan legislatif. Banyak politisi yang mengandalkan nama besar keluarganya untuk mendapatkan jabatan politik, hal ini menunjukkan kekuasaan politik sering kali diwariskan dan bukan dimenangkan melalui persaingan yang sehat.
Politik dinasti memiliki dampak yang signifikan terhadap demokrasi dan sistem politik di Indonesia. Salah satu dampaknya adalah pengurangan kesempatan bagi calon pemimpin baru yang mungkin memiliki kemampuan dan ide-ide lebih untuk menawarkan perubahan. Ketergantungan pada nama keluarga tertentu dapat menghambat regenerasi kepemimpinan dan inovasi dalam pemerintahan.
Selain itu, politik dinasti sering dikaitkan dengan praktik nepotisme, di mana keputusan politik dan administratif dapat dipengaruhi oleh hubungan keluarga daripada meritokrasi atau kepentingan umum. Hal ini dapat merusak kepercayaan publik terhadap integritas sistem politik dan memperburuk masalah korupsi.
Fenomena politik dinasti ini telah mencuri perhatian publik, terutama ketika Presiden Joko Widodo, atau Jokowi, yang dikenal dengan gaya kepemimpinannya yang bersih dan anti-korupsi, dikaitkan dengan isu ini. Meskipun Jokowi sendiri bukan bagian dari dinasti politik, keberadaan anggota keluarga dalam politik menjadi sorotan seiring dengan perjalanan kepemimpinannya.Jokowi, yang memulai karir politiknya dari level lokal sebagai Wali Kota Solo dan kemudian Gubernur DKI Jakarta sebelum menjadi Presiden, dikenal karena citranya sebagai figur populis yang melawan praktik politik konvensional. Dia sering dianggap sebagai representasi dari perubahan politik dan anti-korupsi. Namun, meskipun Jokowi berupaya untuk memisahkan dirinya dari politik dinasti, keluarganya tidak sepenuhnya terhindar dari dunia politik.Berdasarkan data terkini, beberapa anggota keluarga Jokowi terlibat dalam politik di berbagai tingkat pemerintahan.
Terdapat beberapa argumen baik pro dan kontra mengenai keterlibatan keluarga Jokowi dalam politik. Di satu sisi, pendukung Jokowi berpendapat bahwa keterlibatan Gibran dan anggota keluarga lainnya adalah hak mereka sebagai warga negara untuk berpartisipasi dalam politik. Mereka juga mengklaim bahwa Jokowi telah menciptakan sistem yang mendorong keterbukaan dan akuntabilitas, sehingga setiap individu, termasuk anggota keluarganya, harus dipilih berdasarkan meritokrasi dan bukan semata-mata karena hubungan darah.
Hal ini terjadi pada saat pemilihan kepala daerah (Pilkada). Fenomena ini menjadi topik penting dalam diskursus politik, terutama terkait dengan regulasi dan reformasi yang diusulkan untuk pemilihan kepala daerah. Salah satu upaya untuk mengatasi dampak politik dinasti dalam pemilihan adalah melalui Rancangan Undang-Undang (RUU) Pilkada yang sedang dibahas atau diusulkan. Politik dinasti dapat memengaruhi Pilkada dengan cara memperkuat kekuasaan beberapa keluarga politik tertentu, yang sering kali memanfaatkan nama dan jaringan keluarga untuk memenangkan pemilihan. Fenomena ini dapat menghambat peluang calon lain yang mungkin lebih kompeten tetapi tidak memiliki latar belakang politik yang sama. Selain itu, politik dinasti juga berpotensi menimbulkan praktik nepotisme dan mengurangi akuntabilitas pemerintahan. Seperti yang belum lama terjadi,rancangan Undang-Undang (RUU) tentang Pemilihan Kepala Daerah (Pilkada) batal disahkan oleh DPR memicu berbagai reaksi di kalangan masyarakat, politisi, dan pengamat. RUU ini awalnya diharapkan dapat memperbaiki sistem pemilihan kepala daerah di Indonesia, namun keputusan untuk tidak mengesahkannya meninggalkan berbagai pertanyaan mengenai dampak dan implikasi yang akan terjadi.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H