Nasib ribuan calon mahasiswa di Indonesia salah satunya ditentukan melalui UTBK-SBMPTN. Tes masuk perguruan tinggi negeri ini menuai polemik serta memotret kejadian unik tiap tahunnya. Kecurangan yang dilakukan beberapa peserta UTBK sempat ramai diperbincangkan di berbagai media sosial serta berita nasional. Tidak hanya itu, salinan google drive yang memuat bukti kecurangan pun dapat dengan mudah kita dapatkan. Ketua Lembaga Tes Masuk Perguruan Tinggi (LTMPT) Pusat, Mochamad Ashari membenarkan bahwa terdapat pula kecurangan dalam bentuk praktik perjokian yang dilakukan oleh peserta. Namun, segala bentuk kecurangan akan diproses secara verbal dan tertulis serta dilaporkan pada pihak berwajib (JawaPos.com, 23/05/2022).
Ketika membahas mengenai kecurangan, sepertinya sudah tidak asing lagi dan menjadi langganan di negeri ini. Lain halnya dengan calon mahasiswa, para pejabat negara pun kerap melakukannya. Korupsi dan penggelapan dana merupakan contoh kongkrit yang dapat kita lihat sampai saat ini. Dalam kacamata Akuntansi, Donald R Cressey mengemukakan bahwa penyebab kecurangan (fraud) tidak lain karena tiga alasan yang mendasarinya. Hal ini dikenal dengan teori Fraud Triangle atau segitiga Fraud. Pertama, kecurangan terjadi karena adanya tekanan dari dalam diri ataupun lingkungan. Kedua, adanya kesempatan atau peluang untuk melakukan tindakan kecurangan. Kemudian yang ketiga, setiap pelaku kecurangan pasti memberikan alasan sebagai bentuk pembelaan. Ketiga hal tersebut memberikan pencerahan bahwa kecurangan terjadi berdasarkan tahapan atau pola yang sama. Calon mahasiswa pastinya menginginkan Perguruan Tinggi Negeri (PTN) sebagai tempat menimba ilmu setelah melalui sekolah menengah, tentu saja tujuan ini menjadi urgensi tersendiri bagi mereka hingga menghalalkan cara-cara yang melanggar hukum.
Sebenarnya delik kecurangan sudah ada sejak dulu dan menjadi budaya hingga saat ini. Pada hakikatnya, budaya tidak terbatas pada adat-istiadat saja, namun kebiasaan yang terus-menerus dilakukan oleh manusia yang sifatnya turun-temurun, contohnya bentuk kecurangan pada bidang pendidikan. Hal ini melekat pada aktivitas sehari-hari terutama seorang pembelajar. Banyak dari mereka didoktrin untuk mendapat nilai yang memuaskan, berprestasi, dan mendapat peringkat. Situasi semacam inilah yang membuat mereka tertekan sehingga berani untuk melakukan tindakan yang tidak terpuji. Menyontek ketika ujian, membeli kunci jawaban, ataupun joki tugas merupakan contoh kongkrit dari banyaknya tindak kecurangan yang membudaya. Tidak kaget bahwa setiap tahunnya selalu mendapat kabar bahwa ada saja siswa yang melakukan kecurangan. Sebenarnya negeri ini tidak kurang orang yang berpendidikan dan berwawasan luas, namun satu yang penting, kejujuran tetaplah yang utama. Manusia sebagai makhluk yang diberi akal budi, sudah sepatutnya bisa membedakan mana yang baik dan buruk. Melestarikan budaya jujur tidak akan membuatmu rugi.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H