Lihat ke Halaman Asli

Ardi Prasetyo

Musik, Literasi, Bisnis

Terima Kasih, Hujan!

Diperbarui: 5 Maret 2019   18:34

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Photo: kulkann

Saat ini, aku sedang menulis tentang hujan di teras rumah bosku. Aku duduk di sebuah kursi alumunium dengan meja berbentuk lingkaran di sebelah kiriku. Di samping meja, ada satu kursi lainnya. Aku menghadap rerumputan di halaman yang malam ini tengah diguyur hujan.

Teras ini tergolong kecil. Bahkan lantainya tampak penuh dengan seperangkat meja kursi yang tengah kutempati. Hanya tersisa sedikit ruang di depan pintu utama untuk lalu-lalang.

Tetesan hujan yang jatuh dari atap teras senantiasa mengenai kakiku. Saat ini, aku dan hujan memang sedekat itu. Airnya begitu dingin, ditambah lagi lantainya juga basah terkena cipratan hujan. Sesekali kuangkat kakiku dan kunaikkan ke atas kursi yang tengah kududuki.

Tak seperti biasanya, hari ini, hujan berlangsung lama sekali. Sejak sore tadi sampai malam ini. Sedangkan aku di rumah ini seorang diri. Bosku sedang pergi ke Australia untuk menghadiri upacara wisuda anak sulungnya. Rumah ini sepi. Letaknya di kompleks perumahan yang karakter penghuninya cenderung minim sosialiasi. Di luar perumahan ini adalah hamparan sawah ladang tempat penduduk lokal bertani.

Di saat seperti ini, kudengar jelas bahwa hujan memang tak menyuarakan namamu. Genangan airnya pun tak pernah menggambarkan wajahmu. Namun, entah, buatku, hujan selalu identik denganmu. Sebab itu, di antara ribuan tetes hujan yang turun di hadapanku, sosokmu, satu-satunya yang terkenang dalam kesendirianku.

Terkadang, aku penasaran. Apa yang kau pikirkan saat hujan? Saat kau terdiam, sendirian, lalu larut dalam lamunan . Apa bayanganku pernah datang tanpa kauundang? Kemudian pikiranmu mengulang kejadian-kejadian yang tak terlupakan. Seperti yang kulakukan saat hujan.

Kalaupun kita saling mengenang di saat hujan, rasanya itu tetap saja tak ada artinya. Sebab, tak ada lagi tujuan yang mungkin bisa kita upayakan. Jangankan tujuan, pertemuan pun sudah tak elok kita lakukan. Bahkan, berbalas pesan atau sekadar bertukar salam saja sudah tabu untuk diulang. Maka, setidaknya biarkan saja aku larut dalam khayalan.

Di antara damainya nyanyian rintik hujan, kau seperti mengisi kursi kosong di sebelahku. Membawakan secangkir kopi dan meletakkannya di atas meja untuk menghangatkan tubuhku. Lalu kita menikmati hujan sama-sama. Bercerita tentang kita pada masa-masa SMA, hingga masa-masa sebagai mahasiswa.

Sungguh kusesalkan, tak lama kemudian, khayalanku tiba pada masa sekarang. Yang terlihat, kau menggendong bayi laki-laki yang kausebut buah hati. Lalu kau menyandainya di atas ranjang berbalut seprei biru muda, di dalam kamar yang dindingnya tertempel poster huruf hijaiyah.

Ya, itu kamar di mana kau kini melepas lelah. Singgasana keluarga kecil yang kaujaga agar tak terpisah.

Hujan tak juga reda saat kutinggalkan alam khayalan. Kulihat di meja tak ada kopi. Kau pun tak ada di kursi. Mungkin kau sudah pergi. Kembali ke kamarmu, menimang bayi ditemani seorang lelaki.  Tepatnya, kawan lamaku yang kausebut suami.

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline