Ide ialah ibu dari segala sesuatu yang berwujud dan dapat dirasakan, seperti: meja, laptop, tas, dan mungkin dunia dengan segala kehidupannya. Lalu, apakah benda-benda tersebut nyata? Atau sebenarnya hanya bayangan dari suatu ide?
Bayangkan sebuah benda yang ergonomis untuk dijadikan tumpuan laptop yang tengah kita pakai mengetik saat duduk di sebuah kursi. Lalu wujudkan sebagaimana ide yang terpikirkan. Apakah wujud benda tersebut sama persis dengan ide yang terpikirkan? Asumsikan benda tersebut berwujud meja.
Apabila wujudnya sama persis dengan ide, maka kemudian dikatakan meja tersebut ideal. Sebaliknya, jika tidak sesuai, maka disebut tidak ideal, atau dengan kata lain 'menyimpang'. Dengan demikian, artinya, ide meja merupakan acuan wujud meja yang dapat diciptakan. Jadi, sebenarnya mana yang nyata dan mana yang hanya bayangan?
Selama ini, kita cenderung mengasosiakan kata "nyata" dengan segala sesuatu yang berwujud dan dapat dirasakan. Sebaliknya, apabila tak begitu, maka kita mewakilkannya dengan kata "bayangan" yang sifatnya semu. Jadi, bayangan adalah refleksi dari sesuatu yang nyata. Kembali ke contoh, yakni meja penumpu laptop yang tengah digunakan untuk mengetik saat duduk di kursi. Lihat ke bawahnya. Di sana tentu ada bayangan dari meja tersebut.
Terkecuali kita mengetik dalam ruang hampa cahaya atau satu-satunya lampu justru dipasang di bawah meja. Tentu yang dimaksud tak ada di sana. Jadi, apakah meja yang berwujud itu benar-benar nyata? Buktinya ada bayangannya. Namun, bukankah meja tersebut hanyalah bayangan dari sebuah ide? Lalu, sesuatu yang menyerupai bentuk meja di bawah meja itu sendiri apa? Adalah bayangan pangkat dua dari sebuah meja yang nyata. Persis seperti seni; tiruan kehidupan fana yang kita anggap nyata.
Bagaimana dengan diri kita? Hanya karena tubuh kita berwujud dan dapat dirasakan, apakah kita pantas terjebak dalam pikiran bahwa kita adalah nyata? Sedangkan yang berwujud itu tak lebih dari sebuah bayangan. Bayangan dari dunia ide tentang eksistensi diri kita. Idenya siapa? Ya ide-Nya yang menciptakan kita
. Jadi, kita ini cuma bayangan. Sehingga, diperlakukan seperti apapun tak akan merubah kita yang nyata, yaitu kita yang berada dalam dunia ide. Mau disiram, dibakar, diinjak, dikubur; tak ada artinya. Sama seperti meja yang tengah menumpu laptop itu. Coba hancurkan saja. Selama idenya masih ada, maka meja itu sejatinya masih ada, karena dapat direfleksikan kembali menjadi meja yang berwujud dan dapat dirasa dengan indera.
Apakah runtutan pikiran ini bisa dikorelasikan dengan kematian? Apakah kematian itu nyata? Mari kita uraikan. Bayangkan kembali tentang meja yang dihancurkan. Selama ide dari meja itu masih ada, maka meja itu sejatinya masih ada, bukan? Sekalipun sirna wujudnya, namun tetap kekal eksistensinya. Begitupun makhluk hidup, termasuk manusia. Pasti mengalami kematian. Lalu sirna bak meja yang dihancurkan wujudnya.
Namun, itu hanya terjadi pada bayangannya, bukan pada ide yang nyatanya kekal. Jadi, kematian adalah suatu hal yang fana sebagaimana kehidupan ini. Oleh sebab itu, tokoh-tokoh besar di masa yang telah jauh berlalu tetap hidup seolah mereka menghapus dimensi waktu. Sampai kapanpun tetap diyakini, tetap dimuliakan, dijadikan panutan, dipelajari teorinya, dan dirasakan faedahnya.
Kita lanjutkan dengan logika berikutnya. Mungkin penutup. Mungkin pula nyatanya justru pembuka. Jika kita merasa diri kita nyata meski tak punya ide apa-apa sebagaimana begitu nyatanya ide yang mendasari eksistensi diri kita, maka kita fana. Kematian, yang mana sesungguhnya fana, menjadi kematian yang nyata. Tentu saja itu menyimpang dari ide penciptaan kita, jika idealnya, kita hidup sebagaimana tokoh-tokoh terdahulu yang sampai kini tetap hidup kekal dengan segala idenya.
Tulisan ini hanyalah refleksi dari sebuah ide tentang kehidupan yang kekal dan yang fana. Silakan bakar saja setelah selesai dibaca andaikata tak suka. Akan terlihat api, asap, dan abu yang fana. Sedangkan idenya akan kekal dalam kepala yang nyatanya juga fana.