Lihat ke Halaman Asli

Christophorus Ardi Nugraha

Teknolog Pendidikan

Menghidupkan Pembelajaran Kimia dengan Storytelling dan AI

Diperbarui: 16 Desember 2024   08:53

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

The Elementville, salah satu judul buku cerita yang dibuat siswa (Sumber: Dokumentasi Penulis)

Saya masih ingat jelas, di sebuah sore, awal tahun lalu. Istri saya baru saja pulang dari sekolah dan mengeluh.

"Aku sekarang ga bisa kasih PR esai lagi. Anak-anak sudah pada pakai AI. Jadi sia-sia juga aku kasih tugas macem-macem. Toh jawabannya bisa dicari pakai Chat GPT."

Di masa lalu, soal esai memiliki bobot yang paling tinggi. Soal macam inilah yang bisa menunjukkan sejauh mana siswa menguasai materi pembelajaran. Dari soal inilah seorang guru bisa menilai ketepatan, kecermatan, dan cara berpikir seseorang. Sekarang, jawaban soal esai ini bisa diperoleh dengan AI. Lalu bagaimana guru bisa menilai kemampuan berpikir siswa?

Fenomena ini tidak hanya terjadi di Indonesia. Di berbagai belahan dunia, AI mulai merambah ke ruang kelas, membawa peluang sekaligus tantangan bagi guru dan siswa. Berdasarkan data EdWeek Research Center, di Amerika Serikat, lebih dari 70% guru belum mendapatkan pelatihan tentang AI. Bagaimana dengan Indonesia?

Bulan lalu, Ditjen GTK Kemdikbud bersama Google mengadakan pelatihan Gemini Academy. Pelatihan ini berhasil menjangkau 186 ribu guru di Indonesia. Dengan jumlah guru sekitar 3 juta, berarti baru 6% guru yang mendapatkan pelatihan.

Angka ini sangat bertolak belakang jika dibandingkan dengan jumlah siswa yang menggunakan AI untuk mengerjakan tugas. Bulan Maret 2024, Tirto.id dan Jakpat mengadakan survei yang menunjukkan bahwa sebanyak 86% siswa di Jakarta menggunakan AI untuk tugas mereka. Di Amerika Serikat, survei BestCollege pada tahun 2023 mencatat bahwa 56% mahasiswa sudah menggunakan AI untuk tugas atau ujian.

Angka ini menunjukkan jurang keterampilan digital antara guru dan siswa yang semakin lebar. Guru dituntut untuk lebih responsif terhadap perkembangan teknologi.

Keresahan ini pula yang akhirnya mendorong saya dan istri bereksperimen. Pertanyaannya adalah: bagaimana membuat tugas yang sulit atau hampir mustahil dikerjakan dengan AI?

Sebagai konsultan teknologi pendidikan, saya sering menggunakan AI dalam pekerjaan sehari-hari. Saya menyadari bahwa chatbot AI kurang bisa mengerjakan instruksi yang kompleks tanpa dipecah menjadi perintah sederhana. Dari sini, kami memilih aktivitas storytelling sebagai eksperimen.

Mengajar kimia, terutama senyawa kimia, adalah tantangan tersendiri. Selain kompleksitas materinya, kimia sering sulit dikontekstualisasikan dengan kehidupan sehari-hari. Storytelling menjadi solusi. Dengan mengasosiasikan konsep abstrak ke dalam narasi yang menarik, siswa dapat memahami dan mengingat materi dengan lebih baik.

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline