Seminggu menjelang lebaran, kita dikejutkan oleh berbagai peristiwa pengeboman. Diawali penembakan dan pengeboman di Istanbul, Turki. Kemudian diikuti penembakan di Dhaka, Bangladesh. Setelah itu pengeboman di Baghdad, Iraq. Belum hilang selimut duka, terjadi lagi pengeboman di Madinah. Yang terbaru, pengeboman di Mapolresta Surakarta, Indonesia tercinta.
Dalam seminggu, lebih dari 250 jiwa melayang karena pengeboman dan penembakan. Pekan yang mestinya diwarnai suka cita Idul Fitri, justru menjadi duka. Keluarga-keluarga yang mestinya bisa berkumpul, saling bercengkrama, justru meratap tangis karena kepergian ayah, ibu, anak, atau saudara yang menjadi korban.
Saya ndak habis pikir, apa sih yang ada di benak para pengebom itu? Apa sih yang ada di benak orang-orang yang disebut “teroris” itu? Apa yang mereka cari? Banyak sekali pertanyaan yang bermunculan di benak saya usai melihat fenomena ini.
Coba kita kembali lagi mengingat proses kita menjadi manusia. Kita dikandung, dilahirkan, tumbuh besar, sekolah, berkeluarga, bekerja, memberikan manfaat, menjadi tua, mati, lalu kembali menjadi tanah. Secara umum, itulah yang dialami sebagian besar umat manusia di bumi ini.
Setiap orang pasti mendambakan kehidupan yang damai, aman, tenteram, dan sejahtera, apapun suku, agama, ras, dan adat istiadatnya. Saya yakin, kita semua pasti mengusahakan segalau kebaikan ini untuk kita sendiri dan orang-orang yang kita cintai.
Saya kadang justru merasa lucu. Bukankah tindakan teror itu justru tidak menimbulkan kedamaian? Bukankah tindakan teror itu justru membuat orang semakin merasa takut, tertekan, dan jauh dari ketenteraman batin? Apakah justru keadaan ini yang mereka inginkan?
Bukankah lebih membawa manfaat, memberikan makan saudara yang kelaparan daripada menghabiskan uang untuk membeli bom dan peluru? Bukankah lebih bermanfaat mengajar dan menyekolahkan anak-anak agar mereka bisa semakin terampil dan bermanfaat bagi masyarakat daripada mengajar mereka untuk membunuh orang lain?
Sungguh lucu, tapi juga menyedihkan, ketika orang berteriak-teriak Tuhan! Tuhan!, setiap saat memuji Tuhan, tetapi tetangganya mati kelaparan, saudaranya putus sekolah, dan ibu-ibu kebingungan mencari susu untuk bayi-bayi mereka. Bukankah nanti yang ditanyakan saat di gerbang surga (bila anda percaya adanya surga) adalah “Apa yang sudah kamu lakukan untuk saudara-saudaramu yang menderita?”
Momen Idul Fitri sungguh sangat tepat untuk merenungkan kembali hakikat kita sebagai manusia. Kita dilahirkan dalam keadaan suci. Sang Pencipta Kehidupan mengizinkan kita lahir ke dunia untuk membawa kebaikan buat semua ciptaan-Nya. Akankah kita mengingkari panggilan kesucian kita dengan menebar ancaman, ketakutan, penindasan, dan kematian?
Kita telah diberi kemampuan, bakat, dan tanggung jawab sesuai kemampuan kita. Kita tidak bisa hidup seorang diri. Kita pasti memerlukan orang lain. Kita hidup dalam peraturan agar semua bisa merasa aman dan nyaman. Kita berasal dari Sang Pencipta dan akan kembali kepada-Nya. Jadi, mengapa kita tidak membawa kegembiraan, damai, sukacita, dan ketentraman selagi bisa?
Selamat Idul Fitri. Semoga kesadaran akan hakikat kita sebagai manusia kembali dipulihkan, dan kita pun bisa menjadi berkat buat setiap orang yang kita jumpai.