Lihat ke Halaman Asli

Christophorus Ardi Nugraha

Teknolog Pendidikan

Sila ke-2 Pancasila: Dasar Filosofis Pengembangan Hakikat Manusia Individu, Sosial dan Susila

Diperbarui: 17 Juni 2015   16:26

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Lambang Pancasila

[caption id="" align="aligncenter" width="300" caption="Lambang Pancasila"][/caption]

Apa bunyi sila ke-2 Pancasila?

Semoga Anda bukan termasuk orang-orang yang lupa rumusan Pancasila. J

Ya! Bunyi sila ke-2 Pancasila adalah: “Kemanusiaan yang Adil dan Beradab.”

Apa sesungguhnya makna dari sila tersebut? Saya tertarik mengawali pembahasan dengan mengupas pandangan Sukarno tentang Pancasila seperti yang diuraikan Siswoyo dalam jurnal Cakrawala Pendidikan. Uraian yang disampaikan mengacu pada pidato dan tulisan-tulisan Sukarno tentang Pancasila.

Dalam pidato Sukarno, rumusan Pancasila masih belum disempurnakan. Rumusannya masih berupa dasar-dasar filosofis kemerdekaan Indonesia. Dasar atau prinsip filosofis pertama adalah Kebangsaan Indonesia. Prinsip kedua adalah Internasionalisme atau Peri Kemanusiaan. Prinsip ketiga adalah Dasar Mufakat, Dasar Perwakilan, dan Dasar Permusyawaratan. Prinsip keempat adalah Kesejahteraaan Sosial. Prinsip kelima adalah Taqwa pada Tuhan Yang Maha Esa.

Menurut Sukarno, Internasionalisme atau Peri Kemanusiaan itu adalah sebuah bentuk nasionalisme asli Indonesia. Kata “internasionalisme’ di sini bukanlah bentuk kosmopolitanisme yang menganggap semua bangsa sama, yang mengatakan tidak ada Indonesia, tidak ada Nippon, tidak ada Birma, tidak ada Inggris, dan sebagainya. Sebaliknya, internasionalisme di sini dimaknai sebagai pernyataan nasionalisme sejati.

Nasionalisme sejati bukan hanya sekedar rasa cinta dan bangga karena kesatuan bangsa dan tanah air. Nasionalisme ini bukan semata-mata tiruan dari nasionalisme Barat yang cenderung mengarah pada chauvinisme, akan tetapi nasionalisme ini timbul dari rasa cinta akan manusia dan kemanusiaan.

Bagi Sukarno, internasionalisme dan nasionalisme berkaitan erat. Internasionalisme tidak dapat hidup subur, kalau tidak berakar di dalam buminya nasionalisme dan nasionalisme tidak dapat hidup subur, kalau tidak hidup dalam taman-sarinya internasionalisme. Internasionalisme yang sejati adalah tanda, bahwa suatu bangsa telah menjadi dewasa dan bertanggung jawab, telah meninggalkan sifat kekanak-kanakan mengenai rasa keunggulan nasional atau rasial, telah meninggalkan penyakit kekanak-kanakan tentang chauvinisme dan kosmopolitanisme.

Saya tertarik dengan poin ini: nasionalisme timbul dari rasa cinta akan kemanusiaan. Kemanusiaan menjadi warna dominan dalam sila ini. Sebab, warna kemanusiaan dalam sila kedua ini juga dikuatkan dalam butir-butir Pancasila. Poin ini dapat menjadi titik tolak aktualisasi sila ini dalam Pendidikan.

Bagaimana aktualisasi gagasan filosofis ini ke dalam pendidikan? Anda yang berkecimpung dalam dunia pendidikan tentu tidak asing lagi dengan hakikat manusia. Secara filosofis, hakikat manusia adalah kesatuan integral dari potensi-potensinya sebagai makhluk individu, sosial, susila, dan religius.Hakikat manusia sebagai makhluk individu, sosial, dan susila cukup tepat bila dipasangkan dengan sila Kemanusiaan yang Adil dan dan Beradab.

Sebagai makhluk individu, setiap manusia itu unik. Ia memiliki potensi yang berbeda antara satu dengan lainnya. Manusia berkembang menjadi makhluk individu yang seutuhnya bila ia dapat berkembang sesuai potensi yang dimilikinya. Ada berbagai cara yang dapat digunakan untuk mengembangkan potensi terpendam setiap peserta didik. Salah satunya adalah dengan keseimbangan pengembangan sisi kognitif, afektif, dan psikomotor.

Keseimbangan sisi kognitif, afektif, dan psikomotor ini amat vital. Terlebih, bila kita membicarakan kurikulum, kita harus memastikan bahwa materi pembelajaran yang harus dipelajari benar-benar diserap dan dikuasai oleh peserta didik. Namun, bagaimana denganpotensi lain yang telah dimiliki atau ingin dipelajari oleh peserta didik?

Di sinilah kadang kesenjangan terjadi. Seringkali sistem pendidikan kita belum dapat mengakomodasi keragaman potensi peserta didik. Sebagai contoh, apabila kita menganalisis potensi peserta didik bedasarkan teori kecerdasan majemuk Gardner, akan ada 9 jenis bakat atau potensi bawaan yang menunggu untuk diaktualisasi. Bila potensi ini tidak disadari sejak dini, peserta didik “terpaksa” harus berkembang di bidang yang mungkin tidak diminati dan tidak menjadi bakatnya. Kesenjangan ini mendorong para praktisi pendidikan dan kita bersama untuk mencari cara-cara baru agar anak dapat berkembang sesuai bakat dan minatnya.

Sebagai makhluk sosial, manusia mutlak memerlukan orang lain. Manusia berkembang seutuhnya menjadi makhluk sosial bila ia mampu bekerja dan hidup bersama dengan orang lain. Di sinilah pendidikan karakter mengambil peran. Orang-orang terdekat dan lingkunganlah yang akan berpengaruh dalam pembentukan karakter peserta didik.

Komponen pendidikan karakter itu adalah teladan, hadian, dan hukuman. Keberhasilan pendidikan karakter ditentukan oleh keseimbangan tiga komponen tersebut. Pendidikan yang terlalu menekankan hukuman, justru akan membuat citra diri peserta didik menjadi negatif. Pendidikan yang terlalu menekankan hadiah, kurang dapat menumbuhkan daya juang. Pendidikan yang terlalu menekankan teladan, akan menjadi terlalu longgar.

Sebagai makhluk susila, manusia menyadari adanya nilai dan norma. Ia mampu berkembang menjadi makhluk susila yang utuh bila ia mampu menyesuaikan diri dengan nilai dan norma di tempat ia berada. Di sini, pendidikan nilai mendapat peran vital.

Komponen pendidikan nilai sama dengan komponen pendidikan karakter yaitu teladan, hadiah, dan hukuman. Keseimbangan tiga komponen inilah yang juga menentukan keberhasilan pendidikan nilai pada peserta didik.

Sebenarnya, pengembangan hakikat manusia sebagai makhluk religius dapat juga turut diurai di sini. Namun akan lebih tepat lagi yang menjadi dasar pengemabngan manusia sebagai makhluk religius adalah sila pertama, yaitu Ketuhanan Yang Maha Esa.

Dari uraian di atas kita dapat merefleksikan bahwa sila Kemanusiaan yang Adil dan Beradab memperoleh aktualisasi dalam dunia pendidikan. Sila ini menjadi landansan yang kokoh dan tepat bagi pengembangan sumber daya manusia Indonesia. Dengan melaksanakan pendidikan yang mengembangkan hakikat kemanusiaan, secara langsung kita juga mewujudkan sila Kemanusiaan yang Adil dan Beradab. Menyitir ungkapan Driyarkara, dengan menjadikan sila kedua sebagai landasan filosofis pendidikan, kita telah memanusiakan manusia.

Sekarang, tinggal sejauh mana kita mampu terus mengekplorasi dan mengaktualisasikan gagasan filosofis ini ke dalam dunia nyata pendidikan. Anda tertantang?

Bacaan lebih lanjut:

1.Siswoyo, Dwi. 2013. Pandangan Bung Karno tentang Pancasila dan Pendidikan Cakrawala Pendidikan, Februari 2013, Th. XXXII, No. 1. (Online), (http://download.portalgaruda.org/article.php?article=102537&val=445), diakses 20 November 2014.

2.A. Sudiarja dkk. 2006. Karya Lengkap Driyarkara : Esai-esai Filsafat Pemikir yang Terlibat Penuh dalam Perjuangan Bangsanya. Jakarta : PT. Gramedia Pustaka Utama.

3.Armstrong, Thomas. 2002. 7 Kinds of Smart: Menemukan dan Meningkatkan Kecerdasan Anda Berdasarkan Teori Multiple Intelligence. Jakarta: PT Gramedia pustaka Utama.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H




BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline