Lihat ke Halaman Asli

Ardiansyah

Pendidik

Catatan yang Membekas di Antara Dua Persimpangan Menanjak

Diperbarui: 17 Februari 2024   07:03

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Cerpen. Sumber ilustrasi: Unsplash

Aku masih ingat dengan jelas hari pertama aku menginjakkan kaki di Hamburg. Udara dingin menusuk tulang, berbeda dengan udara hangat di kampung halaman. Langit mendung dan gerimis tipis turun, membasahi rambutku dan menambah rasa asing di kota yang baru ini.

Kaki melangkah di trotoar kota Hamburg yang ramai. Orang-orang berlalu lalang dengan terburu-buru, terlindung di balik payung berwarna-warni. Aku mengamati dengan saksama, berusaha membiasakan diri dengan suasana yang baru ini.

Gedung-gedung tinggi menjulang di sekitarku, bagaikan raksasa yang siap menerkam. Jalanan dipenuhi kendaraan yang melaju dengan kecepatan tinggi. Suara klakson dan mesin mobil bercampur aduk dengan suara orang-orang yang berbicara dalam bahasa Jerman yang asing bagiku.

Di kejauhan, terlihat Sungai Elbe yang membelah kota, dihiasi dengan kapal-kapal besar yang mengangkut barang. Di atas sungai, terdapat beberapa jembatan yang indah, salah satunya adalah Jembatan Elbphilharmonie yang terkenal dengan arsitekturnya yang unik.

Aku merasa kecil dan terasing di tengah keramaian ini. Aku merindukan sawah hijau yang terbentang luas di kampung halaman. Merindukan suara gemericik air sungai yang jernih. Merindukan keramahan penduduk desa yang selalu menyambut dengan senyuman.

Di sini, semuanya terasa individualis dan serba cepat. Orang-orang sibuk dengan urusannya masing-masing, tak ada waktu untuk basa-basi. Aku sempat merasa kesepian dan terasing di kota ini.

***

Awal kedatanganku di Hamburg, aku mengalami culture shock yang luar biasa. Semuanya terasa berbeda. Budaya, bahasa, makanan, dan cara hidup orang-orang di sini sangat berbeda dengan di kampung halaman.

Aku masih ingat saat pertama kali aku mencoba makan roti dan keju untuk sarapan. Rasanya aneh dan tidak sesuai dengan seleraku. Aku merindukan nasi hangat dengan tempe orek dan sambal teri yang menggugah lidah untuk tidak berhenti menyantap, ditambah dengan tumis kangkung dan lalapan terong hijau sajian ibuku begitu haus untuk sedikit merasakannya. 

Aku juga kesulitan berkomunikasi dengan orang-orang di sini. Bahasa Jerman yang mereka gunakan terdengar asing dan rumit. Aku sering salah paham dan mengalami kesulitan dalam memahami apa yang mereka katakan, karena kota ini terbilang kental dengan logat unik dibanding beberapa daerah Jerman Utara lainnya. 

Meskipun mengalami culture shock, aku tak ingin menyerah. Aku belajar bahasa logat mereka dan berusaha beradaptasi dengan kehidupan di sini. Perlahan tapi pasti, aku mulai terbiasa dengan budaya dan cara hidup di Hamburg.

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline