Lihat ke Halaman Asli

Ardiansyah

Pendidik

Antara Cinta dan Semesta

Diperbarui: 16 Februari 2024   07:05

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Roman. Sumber ilustrasi: pixabay.com/qrzt

Langit pagi yang cerah bagaikan lukisan abstrak di mataku. Biru langit yang menenangkan bercampur dengan sapuan awan putih, namun tak mampu meredakan gejolak di hatiku. Di tanganku, buku tebal tentang biologi evolusi tergeletak tak tersentuh, lembaran-lembarannya bagaikan cerminan kehampaan yang melanda jiwaku. Pikiran melayang jauh, tertuju pada sosok Arya, kekasihku yang baru saja menyelesaikan studi doktoralnya di bidang astrofisika.

Arya, pria cerdas dan ambisius dengan mimpinya yang setinggi langit. Sosoknya yang penuh semangat menyelimuti dunia penelitiannya, bagaikan supernova yang bersinar terang di galaksi antariksa. Sementara aku, jiwaku terikat erat pada bumi, pada detak jantung alam dan interaksi manusia yang hangat. Cinta kami bagaikan dua kutub magnet yang berlawanan, tarik menarik dalam ketegangan yang tak terelakkan.

Beberapa bulan terakhir, hubungan kami bagaikan perahu tanpa nahkoda di tengah lautan badai. Arya semakin terobsesi dengan penelitiannya, menghabiskan waktu berjam-jam di laboratorium bagaikan rahib yang mengabdikan diri pada kuil sains. Aku, di sisi lain, terdampar di pulau kesepian, diabaikan dan dilanda rasa rindu yang menggerogoti. Dilema melanda hatiku bagaikan tsunami yang menggemparkan: haruskah aku terus bertahan dalam hubungan yang kian merenggang ini, ataukah aku harus mengikuti kata hati dan mencari kebahagiaan di lautan yang luas?

Setiap malam, aku termenung di balkon apartemen, ditemani sinar rembulan yang redup. Bintang-bintang yang berkilauan bagaikan pertanyaan yang tak terjawab, menusuk hatiku dengan rasa pilu. Aku bertanya pada diri sendiri, "Apakah cinta dan sains dapat berjalan beriringan? Ataukah aku harus memilih salah satu, dan merelakan yang lain?"

Dilema ini bagaikan jurang yang menganga di depan mataku, mengancam untuk menelan seluruh kebahagiaanku. Aku tak tahu entah harus apa.

***

Suatu malam, Arya datang ke apartemenku dengan wajah berseri-seri. Dia baru saja menemukan sebuah penemuan besar yang dapat mengubah pemahaman manusia tentang alam semesta. Antusiasmenya bagaikan api yang membakar, namun tak mampu menghangatkan hatiku yang membeku.

Arya berbicara tanpa henti tentang penelitiannya, tentang penemuannya yang revolusioner. Aku mendengarkannya dengan saksama, namun perkataannya terasa hampa, tak mampu menembus tembok kesepian yang memisahkan kami.

Saat jeda sejenak, aku memberanikan diri untuk berbicara. "Arya, aku senang dengan penemuanmu. Tapi, aku juga ingin kamu tahu bahwa aku merasa kesepian. Aku membutuhkan perhatian dan kasih sayangmu."

Arya terdiam sesaat, raut wajahnya berubah menjadi serius. Matanya yang biasanya berbinar penuh semangat kini redup, terbebani oleh beban dilema yang sama.

"Aku mencintaimu," Arya berkata dengan suara lirih. "Tapi, penelitian ini adalah hidupku. Aku tidak bisa meninggalkannya."

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline