Lihat ke Halaman Asli

Ardi Fantur

Mengekspresikan Minat Menulis

Mengenang Empat Puluh Hari Meninggalnya Popo Damasius Nega

Diperbarui: 3 Agustus 2018   17:26

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Sosbud. Sumber ilustrasi: KOMPAS.com/Pesona Indonesia

Tulisan ini saya persembahkan untuk mengenang Kakek Damasius Nega yang pada tanggal 08 Agustus 2018 genap empat puluh hari meninggal dunia di Tureng (Rewah), Desa Nggalak, Reok Barat, Manggarai, Flores, NTT.

Popo (kakek) Dama, begitu ia akrab kami sapa. Dia sosok yang berkesan di hati saya. Bukan karena dia adik dari ayahnya mama, popo Gabriel Gehar, lebih karena perhatiannya yang tinggi pada iman ke-Katolik-an saya.

Selaku guru agama yang ditunjuk secara aklamasi di kampung Tureng saat saya SD, popo Dama- lah yang menguji saya doa-doa Katolik dalam bahasa Manggarai sebelum saya Komuni pertama.

Dalam menguji, ia tidak bersikap otoriter tapi mengoreksi kesalahan, entah kata, kalimat, atau kecepatan dalam mengucapkan doa.

Ia tidak juga memarahi kalau saya terlalu cepat mengucapkan doa, tapi memberi peringatan; "berdoa itu jangan kayak ada nasi panas di mulut." Semakin dewasa, saya memahami makna lebih dalam dari peringatan tersebut. Maksud dari peringatan itu tentu bukan hanya bermakna saya terlalu cepat mengucapkan doa, tapi juga berarti jangan berdoa hanya sebagai pemanis bibir belaka melainkan dari hati, dengan penuh keyakinan.

Rupanya tugas popo Dama menguji saya doa-doa sebelum komuni pertama juga bagian dari tanggung-jawabnya sebagai bapak Wali Baptis saya, saat saya bayi. Luar biasa popo ini.

Beberapa kali saya pesta sekolah pun popo Dama dan nyonya lah yang mengapit saya di kemah.

Bahkan saat saya menikah tahun 2010 di Hita-Pacar ia juga dengan semangat hadir. Saya melihatnya sebagai bentuk sayangnya kepada saya dan istri saya.

Pulang liburan 2013, jadi perjumpaan terakhir saya dengan popo. Dia banyak bercerita saat itu. Yang saya kagum adalah dia masih hafal silsilah Rewah-Tureng dari leluhur pertama yang hijrah dari Bugis-Makasar bernama JARANG hingga cicit-cicitnya. Untungnya ketika itu saya mencatat. Sebelumnya saya memang mendapat catatan silsilah Rewah-Tureng dari popo Agavitus Rahu, beberapa tahun sebelumnya. Versi keduannya saling melengkapi.

Banyak nasihat juga yang ia utarakan saat itu kepada saya. Rupannya itu nasihat terakhirnya untuk saya. Saya bersyukur punya popo yang hebat ini, DAMASIUS NEGA. Ia dipanggil Tuhan, Rabu, 27 Juni, setelah beberapa tahun menderita stroke. Selamat jalan popo Dama. Damailah jiwa mu bersama para kudus di surga. Amin




BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline