Kisah pilu (dan lucu) ini terjadi baru kemarin.
Awalnya saya memantau aktivitas sehabat maya di situs jejaring sosial Facebook. Mumpung sedang libur, saya jadi gemar meneliti setiap status teman yang terdaftar di akun.
Sedang asyik scroll oce-oceh sahabat virtual, mata saya terhenti di salah satu link yang di-posting seorang dosen yang kebetulan berteman dengan saya di dunia maya. Sebut saja namanya Ibu Bunga. Saya terkejut ketika membaca link berisi tentang artikel politik itu. Bukan apa-apa, judul artikel milik beliau itu jelas berkalimat provokatif dan boleh dikatakan tak punya dasar yang jelas mengenai pribadi Joko Widodo, terutama soal status keagamaannya yang memang sering digunakan sebagai racikan ampuh bagi serangan kampanye hitam. Ditambah lagi, sumber situs yang memuat artikel itu hanyalah sekadar blog.
Selidik punya selidik, ternyata keseluruhan informasi yang tersedia di blog itu kembar dengan pola pemberitaan “Obor Rakyat”, tabloid yang belakangan ini menggemparkan karena dijadikan sebagai wadah serangan propaganda hitam. Picik, provokatif dan berbau fitnah.
Saya heran, kok Ibu yang basis ilmunya berhubungan langsung dengan pemanfaatan praktis teknologi informasi dan komunikasi ini bisa sekeliru itu menyomot informasi. Padahal belum terlupa di ingatan saya saat si Ibu dosen begitu lancarnya bicara soal “verifikasi”, “cover both sides”, “kritis media”, dan istilah super lainnya dalam penggunaan media telekomunikasi. Saya yang agak terganggu langsung unjuk komentar. Isinya kira-kira saya ingin agar si Ibu lebih selektif—seperti dalam banyak ceramah kuliahnya—untuk memilih dan memilah sumber informasi di dunia maya. Bagaimanapun, arus informasi di internet sangatlah deras dan masif, sehingga bukan hal yang aneh jika pada alir “sungai informasi” itu ditemukan benda lembek kuning terapung bernama “fitnah”.
Saya ingin berpanjang-panjang menanggapi, tapi karena status saya yang masih mahasiswa beliau, saya pun tak berani terlalu keras dalam mengkritik. Maklumlah, ada IP yang dipertaruhkan di sini.
Namun, komentar saya itu tak pernah mendapat balas. “Ya sudahlah,” benak saya berbaik sangka, “mungkin dia tak sengaja atau terburu-buru mem-posting tanpa terlebih dulu cross-check.”
Sayangnya, beberapa waktu kemudian saya kembali menemui hal yang serupa. Ibu Bunga berulang kali mem-posting artikel berjudul provokatif yang melulu menyudutkan sosok Joko Widodo. Mulai dari kinerja mantan walikota Solo tersebut, sampai ke hal-hal yang mungkin sulit kita percayai bisa dibagikan seorang dosen bertitel Ph.D cetakan luar negeri. Bayangkan saja, Ibu dosen yang terhormat itu bisa sampai hati membagikan berita yang kontennya lekat dimuati opini yang mengarah pada kebencian terhadap perbedaan, terutama soal sentimen agama.
Tak bisa dipungkiri, politik dan agama jika dipadukan bisa jadi pendulang suara, tapi pada saat tertentu malah berlaku sebagai senjata berbahaya!
Wah, ini sudah keterlaluan. Pada salah satu berita unggahan Ibu Bunga berjudul “Handoko Jokowi” (mungkin banyak yang pernah mendengar fitnah picis mengenai makna di balik titel “H” yang mengartikan “haji” di depan nama Joko Widodo yang sering diubah menjadi aneka inisial seperti “Handoko”, “Han”, “Herbertus”, dsb, oleh para pembenci) saya langsung bereaksi dengan mengatakan, “Bu, saya juga bisa membuat opini jika Joko Widodo adalah anak Zeus yang dilahirkan di planet Somorkop dan dibawa ke bumi oleh Dewa Jagung Emas 3000 tahun yang lalu. Tapi apa kita mesti bulat-bulat percaya? Anak SD mungkin iya.”
Saya juga menyisipkan ‘pukulan’ telak lewat komentar “Ah, apalah saya ini, tak seberpengalaman Ibu dalam hidup dan pengetahuan, tapi justru Ibulah yang mengajarkan saya untuk kritis terhadap penggunaan teknologi informasi. Itulah alasan saya untuk sedikit mempertanyakan hal tersebut.”
Tak dinyana, komentar saya dibalas! Ibu dosen itu menjawab jika “komunikan bebas dalam memilih sumber informasi, dan bahwa setiap pendukung capres bebas memuat informasi selama tak menyalahi UU cyber crime.”
Ah, jujur saja jawabannya tak sesuai ekspektasi, malah kedengaran konyol.
Kenapa harus bawa-bawa UU cyber crime segala? Karena saya punya anggapan (dan tampaknya ini benar) “sesuatu tak akan menjadi salah di mata hukum selama hal tersebut tidak ketahuan oleh hukum!”
Saya lalu membayangkan jika seandainya setelah ia membaca tuntas “fakta” yang ia posting itu, si Ibu dosen berteriak di depan mata kepala Pak Jokowi, “Hei, Jokowi, kamu si anak gund*k h*ram, Bapakmu PKI Cina kafir yang kabur ke RRC kan? Aku dapat informasi di internet. Hayo ngaku Jok!”
..dan hanya ada dua kemungkinan yang tersedia: kalau tak masuk bui, si Ibu dosen pasti bonyok diamuk massa pendukung Jokowi.
Saya tentu tak mau sebrutal itu menjawab komentarnya. Agar lebih santun, saya lalu memilih menanggapi lewat bahasa akademis, jika informasi di blog sumbernya kebanyakan tak bisa dipertanggungjawabkan, miskin referensi apalagi verifikasi, dan lagi pula hampir keseluruhan berita yang Bu Bunga bagikan ke ribuan teman-temannya dunia maya berasal dari sumur-sumur informasi gelap, entah itu blog pribadi, situs yang memang dikhususkan untuk mendukung capres tertentu sehingga beritanya tendensius dan memihak, sampai alamat web yang memang terkenal dengan semangat fundamentalisme agama dalam pemberitaannya dan yang nyata-nyatanya mendukung gerakan terorisme. Dengan agak ketus, saya lalu menyebut jika satu dari beberapa variabel motif komunikan dalam memilih media pada asumsi teori media massa “Uses and Gratifications” adalah soal kognisi atau tingkat pengetahuan. Dengan maksud terselubung untuk mempertanyakan kredibilitas pengetahuan si dosen bertitel S3 itu saya lalu membuat semacam anggapan (dan saya akui saya agak berlebihan waktu itu), jika dilakukan semacam survey, maka masyarakat dengan tingkat intelektualitas menengah ke atas tak akan sudi mengonsumsi sumber informasi seperti yang ia bagikan.
Saya yakin, “pukulan” saya yang satu itu sukses mengenai sasaran. “Selamat datang IP rendah,” desah saya pasrah.
Namun ternyata, tak ada balasan. Saya kemudian berharap, lewat cara yang agak tajam, yaitu dengan mempertanyakan kualitasnya sebagai pendidik, dia akhirnya bisa sadar jika tak seharusnya dosen pipis berdiri dengan posisi yang salah, karena murid tentu akan buang air seni sambil lari-lari!
Tapi, lagi-lagi saya diberi harapan palsu. Esoknya, sang dosen tetap saja membanjiri beranda Facebook dengan serangan yang semakin brutal terhadap Jokowi. Bahkan dengan arogannya dia menyebut Jokowi “memalukan” dan “tak layak jadi presiden” karena dia meyakini (yakin, bukan tahu) Joko Widodo tak bisa berbahasa Inggris semampu dan sehebat dirinya dan presiden yang didukungnya.
Seketika saya sedih, dan jujur saja, menyesal, pernah enam bulan duduk dengan semangat lugu mendengar ocehan dari seseorang yang mengaku sebagai pengajar senior yang banyak bicara soal toleransi tapi nyatanya rasis dan anti kebhinekaan, yang berulang mengucap agar kritis terhadap penggunaan media tapi realitasnya perilaku si pengucap dalam bersosial media sama sekali tak tampak dewasanya, yang dengan entengnya bicara soal rendah hati tapi dengan arogan merendahkan seseorang yang kemampuannya padahal ia belum ketahui.
Saya lalu mengomentari kembali, sebagai seorang akademisi yang tentu dekat dengan dunia pendidikan, dunia yang tak pernah lelah mengajarkan toleransi dan penghormatan terhadap perbedaan identitas suku, agama, ras dan antargolongan, apalagi stasus Ibu Bunga sebagai pengajar bidang aplikatif teknologi komunikasi, seharusnya tak patut jika dia memuat informasi berbau fitnah dari sumber yang nyata-nyatanya menghendaki disintergrasi, perpecahan di antara sesama, apalagi disebar ke publik yang bisa saja tingkat ke-kepo-annya cukup tinggi seperti saya.
Kritik saya yang terakhir itu pastinya tak pernah terbalaskan, karena pertemanan kami di dunia maya telah diputuskan sepihak. Saya resmi ditalak. “Unfriend”.
Jujur saja, saya sangat menyayangkan tindakan “keras” beliau, karena sebagai seorang akademisi yang (kelihatannya) berpengalaman, harusnya dalam menanggapi sesuatu ia bisa mendahulukan proses diskusi dan pertukaran pendapat yang rasional. Bukan langsung berlaku emosional.
Ada pendapat umum yang menyatakan, jika fanatisme akan berbanding lurus dengan rendahnya pengetahuan. Namun kali ini pendapat tersebut sepertinya tak berlaku, karena kejadian di atas nyatanya membuktikan kalau status pendidikan yang tinggi—setidaknya dilihat dari ragam info riwayat pendidikan yang dicantumkan sang dosen di profilnya—tak menjamin kebijaksanaan yang tinggi dalam tindak dan ucap.
Sebagai mahasiswa yang sangat peduli terhadap bangsa (uhuk!), saya cuma berharap siapa pun presiden yang terpilih nanti mampu memberi solusi terhadap sakit akut yang diidap sektor pendidikan negara kita yang memang kenyataannya masih memelihara pendidik yang tak sepenuhnya pantas dan kredibel untuk dipanuti. Dan kepada sesama rekan mahasiswa, saya ingin mengingatkan jika dosen juga manusia. Dosen juga bi(a)sa berbuat salah.
(Sekadar informasi, pada mata kuliah yang diasuh langsung oleh Bu Bunga beberapa semester yang lalu, saya mendapat nilai “C”.)
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H