Lihat ke Halaman Asli

Bijak Mengelola Amarah

Diperbarui: 24 Juni 2015   12:13

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Kesehatan. Sumber ilustrasi: FREEPIK/Schantalao

"Siapa pun bisa marah. Marah itu mudah. Tetapi, marah pada orang yang tepat, dengan kadar yang sesuai, pada waktu yang tepat, demi tujuan yang benar, dan dengan cara yang baik, bukanlah hal mudah." - Aristoteles

Seorang teman berbagi cerita tentang pengalamannya yang tidak menyenangkan. Ia pernah dimarahi oleh orang nomor satu di tempatnya bekerja. Karena absen dari rapat koordinasi yang rutin bulanan, ia dihardik habis-habisan. Sang pimpinan menganggap ketidakhadirannya itu sebagai suatu pelanggaran. Parahnya, aksi marah-marah itu berlangsung di hadapan rekan kerjanya yang lain. Jelas saja nyalinya menciut. Ia malu dan tertekan. Diam dan menunduk mungkin menjadi pilihan terbaik, meski dirinya tak suka diperlakukan seperti itu. "Anggap saja ini sebagai penempaan diri. Mungkin saat itu, suasana hati atasanku lagi tidak nyaman," begitu katanya.

Kemarahan merupakan emosi alamiah yang bisa dialami oleh siapa saja. Amarah menjadi salah satu mekanisme pertahanan diri seseorang dari ketidaknyamanan yang dialaminya. Pintu utamanya adalah kontrol diri yang buruk. Intensitasnya pun beragam. Mulai dari iritasi ringan sampai yang meledak-ledak. Namun, saat amarah memuncak dan seseorang tidak mampu berpikir jernih, kemarahan akan berubah menjadi hal-hal yang dapat merusak dan merugikan.

Mengubur nafsu amarah atau ingin melampiaskannya memang membutuhkan perjuangan. Seseorang yang mudah tersulut emosinya seringkali hanya fokus pada masalah itu sendiri, bukan menyelesaikannya. Efeknya tidak hanya dirasakan secara fisik, tapi juga berdampak pada hal lain. Dalam dunia kerja misalnya, beban kerja yang tinggi sering menjadi alasan betapa emosi mudah terprovokasi. Marah yang tidak terkontrol bisa melukai hubungan interpersonal dengan rekan kerja, bahkan memengaruhi kinerja dan karier seseorang. Makanya, kemarahan itu tak patut diumbar. Kita hanya boleh marah secara wajar. Kita bisa mencegah bertindak dan berbicara ketika marah. Kalau pun harus mengekspresikannya, bisa dilakukan dengan cara yang bijak dan tanpa berniat menjatuhkan atau menyakiti orang lain.

Kemarahan yang tidak dikelola dengan hati-hati memang bisa kebablasan. Boleh jadi kemarahan itu dapat memicu kemarahan lainnya. Seperti lingkaran setan berputar terus-menerus. Terkadang melampiaskan amarah dianggap sebagai salah satu cara mengatasinya. Sebagian orang meyakini bahwa hal itu dapat membuat orang yang marah merasa lebih baik dan nyaman. Anggapan ini jelas keliru. Pasalnya, berbagai penelitian mengisyaratkan bahwa melampiaskan amarah tidak ada atau sedikit sekali hubungannya dengan meredakannya, meskipun terasa memuaskan.

Daniel Goleman, dalam bukunya yang sangat populer: Emotional Intelligence, mengutip hasil riset Diane Tice, seorang ahli psikologi dari Case Western Research University, yang menemukan bahwa melampiaskan amarah merupakan salah satu cara terburuk untuk meredakannya. Lebih lanjut dijelaskan, ledakan amarah biasanya memompa perangsangan otak emosional. Akibatnya, orang justru menjadi lebih marah dan kehilangan rasionalitas, bukannya berkurang. Dari cerita responden tentang saat-saat mereka melampiaskan amarahnya pada seseorang, tindakan itu justru memperpanjang suasana marah, bukan menghentikannya. Cara yang jauh lebih efektif adalah terlebih dahulu menenangkan diri, kemudian dengan cara yang lebih konstruktif dan terarah, menghadapi orang yang bersangkutan dengan kepala dingin dan hati tulus untuk menyelesaikan masalah.

Lalu, apa yang bisa kita lakukan saat amarah menguasai diri? Salah satu cara yang ampuh untuk meredakannya adalah dengan jalan memaafkan. Memaafkan bukan berarti menunda kemarahan. Justru memaafkan itu membolehkan diri merasakan amarah. Pun pada saat yang sama, memaafkan mampu mengelola amarah itu, sehingga diri tidak berada dalam kendalinya dan menggerakkannya menjadi perasaan positif. Dengan memaafkan, kita tidak hanya memberi maaf dan meringankan beban orang lain, tetapi juga menyehatkan dan membebaskan belenggu yang ada pada diri.

Sebuah tulisan berjudul "Forgiveness", yang diterbitkan Healing Current Magazine Edisi September/Oktober 1996, menyebutkan bahwa kemarahan terhadap seseorang atau suatu peristiwa menimbulkan emosi negatif dalam dirinya, dan merusak keseimbangan emosional bahkan kesehatan jasmaninya. Artikel tersebut juga mengungkap bahwa orang baru menyadari setelah beberapa saat bahwa kemarahan itu mengganggu mereka, dan kemudian berkeinginan memperbaiki disharmonisasi hubungan. Jadi, mereka mengambil langkah-langkah untuk memaafkan. Disebutkan pula, meskipun mereka tahan dengan segala hal itu, mereka tidak ingin menghabiskan waktu berharga dari hidupnya dalam kemarahan dan kegelisahan. Mereka lebih suka memaafkan diri sendiri dan orang lain.

Nah, memilih untuk mengendalikan amarah dan memaafkan kesalahan orang lain jelas akan meningkatkan kesehatan jiwa dan raga. Mampukah kita melakukannya: tanpa dengki, dendam, sakit hati, dan kemarahan? Mario Teguh pernah mengingatkan, "Setan membesarkan rasa marah di hati kita dan menambahi nikmat dalam pelampiasannya agar kita mengkasarkan kata-kata dan mengkejikan tindakan, sehingga rusak hubungan kita dengan keluarga dan sahabat."




BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline