Lihat ke Halaman Asli

Istri

Diperbarui: 26 Juni 2015   10:43

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Puisi. Sumber ilustrasi: PEXELS/icon0.com

Saat dahulu anak pertama saya usianya satu setengah tahun dan belum bisa bicara. Saya bertanya pada bundanya dengan sedikit sinis “Belum bunda ajarikah dia bicara?”. Saat anak saya yang kedua mengalami hal yang sama lagi. Istri saya harus rela menerima pertanyaan serupa yang tak bermutu itu kembali.

Sewaktu setahap anak pertama mulai belajar mengucap satu-dua buah kata. Saya berucap setengah curiga padanya “Apa hanya itu suku kata di dunia ini?”. Begitu pula nasib anak kedua saya yang tak jauh beda. Hanya saja kali ini saya coba menyantunkan sedikit ucapan-ucapan saya meskipun kadar curiga didalamnya tidak terkurangi.

Dan ketika tiba saat kakak mulai belajar tentang huruf dan angka, sedangkan sang adik “mengekor” apa yang diucapkan kakaknya. Saya hanya berkomentar sederhana. Lebih parahnya lagi, seiring meningkatnya kecerdasan sang adik dalam memahami apa yang diucapkannya dalam rupa bahasa lainnya berupa tulisan tangan. Saya hanya bilang “Ah…..anak segitu sudah biasa dan memang sudah seharusnya, anak-anak kawanku yang lain juga sudah bisa”.

Hingga suatu waktu, kedua anak saya menghampiri saya yang sedang asik didepan TV dan berkata “ Yah, ajari kami dong rumus Alogaritma dan Grammar bahasa Inggris, karena kami sudah bertanya pada bunda dan bunda belum tahu jawabannya“.

Tersulut emosi dan harga diri saya hanya karena pertanyaan kedua anak saya, sehingga tanpa sadar saya sambar buku yang dibawa kakaknya. Disaat melihat catatan dibukunya itulah lidah saya kelu, sambil kembali memandang film yang sedang seru. Jikalau ada yang bertanya saat itu tentang pikiran saya, pastilah saya akan jawab, aku juga tidak paham apa arti pertanyaan dibuku anakku.

Seiring dengan mulai terasa merah padam dimuka dan mual sudah merasuk perut. Saat itulah datang istri saya dengan langkah bijaksana sambil berkata :” Kakak-Adek ayah sedang istirahat, kita diskusikan bersama ya soal logaritma dan grammar kalian, kebetulan ibu sudah telp ibu guru untuk minta bantuan datang kerumah”

Legalah pikiran saya. Loloslah kembali nafas saya yang sesak sebelumnya. Kemudian bangkitlah kesadaran saya. Disaat harga diri saya akan jatuh ketitik lobang yang terdalam jika tidak bisa menjawab pertanyaan anak-anak saya. Datang pahlawan penyelamat yang penuh rasa halus dan bijaksana itu. Dia adalah istri saya.

Betapa ia tidak dendam pada saya. Betapa ia selalu siap membantu dan mendukung saya. Meskipun saya selalu meragukannya. Inilah rasa keheranan dan rasa hormat yang dalam terhadap dedikasinya.

11 Desember 2010

Ruang Perenungan

Ardi Bangujiwo

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline