Lihat ke Halaman Asli

Ardi Bagus Prasetyo

TERVERIFIKASI

Praktisi Pendidikan

Bukti Jika Netizen Kita Kurang Literasi, Ada Sedikit Sensasi Langsung Gas Open Donasi!

Diperbarui: 5 Desember 2024   09:16

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

(https://langit7.id)

Indonesia dikenal sebagai salah satu negara dengan pengguna internet yang sangat aktif. Media sosial telah menjadi ruang yang vital untuk berbagi informasi, berdiskusi, bahkan menjadi platform untuk mengekspresikan solidaritas. 

Namun, di balik hiruk-pikuk interaksi digital, muncul fenomena yang memprihatinkan: rendahnya tingkat literasi digital netizen kita. Hal ini terlihat jelas ketika sebuah isu mencuat, tak sedikit orang yang buru-buru membuka penggalangan dana tanpa memverifikasi informasi secara matang.

A. Rendahnya Literasi Digital: Masalah yang Mendesak

Menurut laporan UNESCO, literasi digital mencakup kemampuan seseorang untuk mengakses, mengevaluasi, menggunakan, dan membuat konten secara bijak melalui media digital. Sayangnya, survei Digital Civility Index Microsoft pada tahun 2020 menunjukkan bahwa Indonesia berada di peringkat 29 dari 32 negara dalam hal kesopanan digital. Ini mencerminkan rendahnya tingkat kemampuan netizen Indonesia dalam memilah informasi yang benar, relevan, dan bebas hoaks.

Hal ini semakin diperparah dengan budaya "viralisme" yang kerap mendominasi media sosial. Informasi yang mengundang emosi, terutama kesedihan atau kemarahan, cenderung lebih cepat menyebar dibandingkan informasi yang berbasis fakta. Dalam konteks donasi, ini menjadi masalah serius. Banyak kasus di mana orang membuka penggalangan dana dengan cerita yang ternyata tidak benar atau dilebih-lebihkan demi mendapatkan simpati.

B. Fenomena "Gas Open Donasi" di Era Sensasi

Fenomena "gas open donasi" sering terjadi setelah sebuah cerita viral menyentuh hati publik. Dalam hitungan jam, unggahan yang memuat cerita pilu atau peristiwa tragis bisa memancing ribuan orang untuk menyumbang. Meski solidaritas seperti ini patut diapresiasi, tidak sedikit pula kasus di mana penggalangan dana tersebut akhirnya terbukti tidak transparan atau bahkan menipu.

Contoh nyata adalah kasus penggalangan dana untuk seseorang yang mengaku korban kecelakaan tragis. Setelah cerita tersebut viral dan berhasil mengumpulkan dana jutaan rupiah, ditemukan fakta bahwa kecelakaan tersebut tidak pernah terjadi. Ini menunjukkan bahwa masih banyak netizen yang mudah tersentuh oleh narasi emosional tanpa melakukan verifikasi lebih lanjut.

Menurut Dedy Permadi, Staf Ahli Menteri Komunikasi dan Informatika, masyarakat perlu meningkatkan kemampuan untuk berpikir kritis dan skeptis terhadap informasi yang beredar di media sosial. “Kemampuan memfilter informasi adalah langkah pertama untuk menghindari penipuan digital,” tegasnya.

C. Kurangnya Edukasi Literasi Digital

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline