Sepakbola Singapura pernah menjadi kekuatan dominan di Asia Tenggara, mencatat sejarah dengan memenangkan Piala AFF (dulu dikenal sebagai Piala Tiger) sebanyak tiga kali---pada 1998, 2004, dan 2007. Keberhasilan ini menempatkan Singapura sebagai salah satu tim terkuat di kawasan. Namun, dua dekade terakhir menunjukkan tren penurunan performa yang signifikan, baik di tingkat tim nasional maupun pengembangan liga domestik. Salah satu penyebab utama yang sering disorot adalah kegagalan proyek naturalisasi pemain asing, strategi yang diharapkan mampu mendongkrak prestasi sepakbola negara tersebut.
A) Kejayaan Masa Lalu yang Kian Memudar
Keberhasilan Singapura meraih gelar juara di Piala AFF didukung oleh pelatih-pelatih berkualitas, seperti Radojko Avramovi, dan kekuatan tim yang solid. Pada masa itu, Singapura memiliki pemain-pemain kunci seperti Noh Alam Shah, Lionel Lewis, dan Indra Sahdan Daud. Kekompakan serta strategi permainan yang efektif menjadikan mereka tim yang ditakuti.
Namun, setelah kemenangan terakhir di Piala AFF pada 2012, performa tim nasional Singapura menurun drastis. Dalam beberapa edisi terakhir turnamen ini, Singapura gagal melaju ke babak semifinal, bahkan terkadang tersingkir di fase grup. Dalam AFF 2022, misalnya, mereka gagal bersaing dengan tim seperti Thailand, Vietnam, dan bahkan Kamboja, yang secara tradisional dianggap sebagai tim yang lebih lemah.
1) Proyek Naturalisasi: Harapan yang Gagal
Salah satu strategi utama yang diambil Singapura untuk meningkatkan daya saingnya adalah naturalisasi pemain asing. Program ini memfasilitasi pemain non-Singapura untuk mendapatkan kewarganegaraan, dengan harapan mereka bisa memperkuat tim nasional.
Pada awalnya, kebijakan ini menunjukkan hasil yang menjanjikan. Pemain seperti Daniel Bennett, Aleksandar Duric, dan Fahrudin Mustafi memberikan kontribusi besar dalam kesuksesan Singapura di Piala AFF. Namun, seiring berjalannya waktu, proyek ini justru menghadapi tantangan besar.
Beberapa pemain naturalisasi yang direkrut kemudian tidak mampu memberikan dampak signifikan. Salah satu alasan utama kegagalan ini adalah ketergantungan yang berlebihan pada pemain asing, yang menghambat pengembangan pemain lokal. Akibatnya, regenerasi pemain di Singapura menjadi lambat, dan liga domestik---yang seharusnya menjadi sumber talenta baru---mengalami stagnasi.
Data dari Asosiasi Sepakbola Singapura (FAS) menunjukkan bahwa jumlah pemain lokal muda yang berpartisipasi di liga menurun hingga 20% dalam dekade terakhir. Hal ini diperburuk oleh minimnya program pembinaan usia dini yang kompetitif.
2) Liga Domestik yang Kehilangan Daya Saing
Singapore Premier League (SPL), yang sebelumnya dikenal sebagai S-League, pernah dianggap sebagai liga profesional terbaik di Asia Tenggara. Namun, dalam beberapa tahun terakhir, liga ini kehilangan daya tariknya, baik dari segi kualitas permainan maupun jumlah penonton.