Sistem zonasi dalam penerimaan peserta didik baru (PPDB) telah diterapkan sejak tahun 2017 di Indonesia. Dengan prinsip mendekatkan sekolah dengan tempat tinggal siswa, kebijakan ini bertujuan untuk mengurangi kesenjangan akses terhadap pendidikan berkualitas dan menghindari sekolah-sekolah favorit yang didominasi oleh siswa dari kalangan tertentu. Meski tujuan sistem zonasi mulia, banyak masyarakat dan pihak terkait mempertanyakan efektivitasnya setelah melihat dampaknya dalam beberapa tahun terakhir. Berikut adalah tiga alasan mengapa sistem zonasi perlu dievaluasi agar dapat memberikan manfaat yang lebih besar bagi pendidikan di Indonesia.
1. Ketimpangan Kualitas Sekolah Berdampak pada Prestasi Siswa
Salah satu kritik terbesar terhadap sistem zonasi adalah adanya ketimpangan kualitas antar sekolah yang signifikan di berbagai daerah. Data menunjukkan bahwa kualitas fasilitas, tenaga pengajar, dan infrastruktur sekolah di Indonesia tidak merata. Sebuah laporan dari Badan Pusat Statistik (BPS) mengungkapkan bahwa sekitar 70% sekolah negeri di daerah pedesaan memiliki infrastruktur yang terbatas dibandingkan dengan sekolah di kota besar.
Dalam sistem zonasi, siswa dengan kemampuan akademik tinggi diharuskan masuk ke sekolah terdekat yang berada dalam zona tempat tinggalnya, meskipun kualitas sekolah tersebut mungkin jauh lebih rendah daripada sekolah-sekolah di pusat kota. Hal ini berdampak pada siswa yang sebetulnya berpotensi berkembang lebih optimal apabila mendapatkan pendidikan berkualitas di sekolah yang mendukung. Selain itu, guru-guru yang bertugas di sekolah-sekolah dengan fasilitas terbatas juga mengalami kesulitan untuk memberikan pembelajaran yang efektif, sehingga prestasi siswa pun cenderung stagnan.
Menurut data Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan (Kemendikbud), sekitar 30% siswa yang tergolong berprestasi di tingkat SD hingga SMA mengalami penurunan prestasi ketika memasuki sekolah zonasi yang kualitasnya jauh di bawah sekolah yang diinginkan. Masalah ketimpangan ini seharusnya menjadi perhatian dalam evaluasi sistem zonasi, agar siswa dapat memperoleh pendidikan terbaik sesuai dengan potensi mereka, tanpa terhalang oleh keterbatasan zona.
2. Terbatasnya Pilihan Sekolah Menimbulkan Ketidakpuasan di Kalangan Orang Tua
Kebijakan zonasi menyebabkan banyak orang tua merasa kecewa karena terbatasnya pilihan sekolah bagi anak mereka. Dalam sistem yang diterapkan saat ini, prioritas utama bagi calon siswa adalah jarak antara rumah dan sekolah. Akibatnya, sekolah-sekolah favorit atau sekolah yang dianggap unggul menjadi sulit diakses oleh siswa yang berada di luar zona tersebut. Berdasarkan survei dari Lembaga Penelitian Pendidikan, 64% orang tua merasa tidak puas dengan hasil PPDB yang menggunakan sistem zonasi, khususnya ketika mereka merasa bahwa sekolah yang tersedia di zona mereka tidak memenuhi standar pendidikan yang diinginkan.
Orang tua umumnya menginginkan yang terbaik untuk pendidikan anak-anak mereka dan akan berusaha untuk memasukkan anak-anak mereka ke sekolah dengan fasilitas dan tenaga pengajar yang berkualitas. Namun, dalam sistem zonasi, banyak orang tua tidak memiliki kendali penuh atas sekolah mana yang akan ditempati oleh anak-anak mereka. Situasi ini menimbulkan rasa ketidakpuasan dan kekhawatiran terhadap masa depan pendidikan anak-anak mereka. Tidak jarang pula beberapa orang tua akhirnya memilih untuk memindahkan tempat tinggal demi mendekati sekolah yang lebih berkualitas. Hal ini tentu saja membebani finansial dan logistik keluarga, terutama mereka yang tinggal di daerah dengan fasilitas pendidikan terbatas.
3. Kurangnya Fleksibilitas Sistem Zonasi Menghambat Pengembangan Potensi Siswa
Selain menimbulkan ketimpangan akses, sistem zonasi juga dinilai terlalu kaku dan kurang fleksibel dalam menyesuaikan diri dengan kebutuhan serta potensi siswa yang berbeda-beda. Dalam kebijakan ini, siswa dengan berbagai kemampuan dan minat harus belajar di sekolah terdekat tanpa memperhatikan spesialisasi atau program khusus yang mungkin dibutuhkan oleh siswa tersebut. Misalnya, ada siswa yang berbakat dalam bidang olahraga atau seni, tetapi tidak memiliki akses ke sekolah yang memiliki program khusus di bidang tersebut karena terbatas oleh zonasi.
Sistem zonasi yang ada saat ini dinilai kurang mendukung keberagaman kemampuan dan bakat siswa, sehingga tidak memberikan ruang bagi siswa untuk mengembangkan potensinya. Sekolah-sekolah yang memiliki program khusus juga sering kali terbatas dan berada di luar jangkauan banyak siswa karena zona mereka. Akibatnya, siswa yang memiliki minat dan bakat di bidang tertentu harus mengubur impiannya atau mencari jalur lain yang bisa jadi membutuhkan biaya lebih besar.
Data dari Direktorat Pendidikan Khusus dan Layanan Khusus (PKLK) menunjukkan bahwa jumlah siswa dengan minat khusus yang merasa tidak terpenuhi di sekolah-sekolah zonasi meningkat sekitar 20% setiap tahunnya. Jika sistem zonasi terus berjalan tanpa adanya fleksibilitas untuk mengakomodasi kebutuhan ini, potensi siswa-siswa berbakat tidak akan terasah dengan optimal dan berpotensi memengaruhi karir dan masa depan mereka di kemudian hari.
Kesimpulan
Sistem zonasi dalam penerimaan peserta didik baru memang bertujuan baik untuk mengatasi ketimpangan akses pendidikan, namun pelaksanaannya masih menemui banyak kendala di lapangan. Ketimpangan kualitas sekolah, ketidakpuasan orang tua, dan kurangnya fleksibilitas untuk mengakomodasi kebutuhan khusus siswa menjadi beberapa masalah utama yang perlu diperhatikan.